45 Views
DULU, ketika masih di PGA (Pendidikan Guru Agama,
setingkat SMA) sekitar tahun 70-an, pernyataan guru saya yang terus teringat
oleh saya sampai hari ini adalah ‘murid tidak bisa lebih hebat dari pada guru’.
Salah seorang guru yang begitu saya kagumi, guru Mata Pelajaran (MP) Menggambar
yang juga mengajar MP. Bahasa Indonesia di kelas saya, Pak MN (sengaja saya
tulis inisial saja.pen) adalah guru yang pernah mengingatkan saya tentang
pernyataan itu.
setingkat SMA) sekitar tahun 70-an, pernyataan guru saya yang terus teringat
oleh saya sampai hari ini adalah ‘murid tidak bisa lebih hebat dari pada guru’.
Salah seorang guru yang begitu saya kagumi, guru Mata Pelajaran (MP) Menggambar
yang juga mengajar MP. Bahasa Indonesia di kelas saya, Pak MN (sengaja saya
tulis inisial saja.pen) adalah guru yang pernah mengingatkan saya tentang
pernyataan itu.
Tentu saja saya tidak keberatan waktu itu.
Apa lagi Pak MN adalah guru idola saya dikarenakan saya hobi menggambar dan dia
adalah guru MP Menggambar. Jadi, saya mengidolakan dia karena begitu hebatnya
dia membuat gambar di papan tulis atau di kertas gambar yang sudah tertempel di
papan tulis setiap ada jam menggambar.
Apa lagi Pak MN adalah guru idola saya dikarenakan saya hobi menggambar dan dia
adalah guru MP Menggambar. Jadi, saya mengidolakan dia karena begitu hebatnya
dia membuat gambar di papan tulis atau di kertas gambar yang sudah tertempel di
papan tulis setiap ada jam menggambar.
Jujur saja, sampai saya akhirnya mengambil
Jurusan Bahasa Indonesia di Unri (Universitas Riau, kini disingkat UR) Pekanbaru
–setemat PGA tahun 1977 itu– adalah karena kekaguman saya kepada Pak MN yang
juga adalah guru MP Bahasa Indonesia saya di PGA waktu itu disamping dia
mengajar pelajaran Menggambar. Waktu itu di UR memang tidak ada Jurusan Seni,
misalnya, andai saya ingin melanjutkan ke MP Menggambar yang saya suka di PGA
itu.
Jurusan Bahasa Indonesia di Unri (Universitas Riau, kini disingkat UR) Pekanbaru
–setemat PGA tahun 1977 itu– adalah karena kekaguman saya kepada Pak MN yang
juga adalah guru MP Bahasa Indonesia saya di PGA waktu itu disamping dia
mengajar pelajaran Menggambar. Waktu itu di UR memang tidak ada Jurusan Seni,
misalnya, andai saya ingin melanjutkan ke MP Menggambar yang saya suka di PGA
itu.
Saya teringat, pada suatu kali pada saat MP Menggambar
kami disuruh membuat gambar berupa huruf-huruf indah dalam bentuk huruf ghotish
alias huruf Jerman. Saya berpikir kali ini saya akan mendapat angka di atas
tujuh. Selama ini saya baru mampu mendapatkan angka enam lebih sedikit (6,3;
6,4; 6,6 atau 6,6). Belum pernah melebihi angka itu. Belum pernah mendapat
angka enam koma tujuh atau koma delapan. Apalagi angka tujuh, ho ho tidak
pernah. Padahal saya merasa dan saya melihat hasil karya saya adalah yang
terbaik. Tentu saja menurut penilaian saya. Setiap jadwal pelajaran menggambar
datang, saya selalu bergairah untuk mendapatkan angka yang lebih tinggi
berbanding yang siudah saya dapatkan sebelumnya.
kami disuruh membuat gambar berupa huruf-huruf indah dalam bentuk huruf ghotish
alias huruf Jerman. Saya berpikir kali ini saya akan mendapat angka di atas
tujuh. Selama ini saya baru mampu mendapatkan angka enam lebih sedikit (6,3;
6,4; 6,6 atau 6,6). Belum pernah melebihi angka itu. Belum pernah mendapat
angka enam koma tujuh atau koma delapan. Apalagi angka tujuh, ho ho tidak
pernah. Padahal saya merasa dan saya melihat hasil karya saya adalah yang
terbaik. Tentu saja menurut penilaian saya. Setiap jadwal pelajaran menggambar
datang, saya selalu bergairah untuk mendapatkan angka yang lebih tinggi
berbanding yang siudah saya dapatkan sebelumnya.
Karena hasil kerja hari ini –saya sudah berusaha
membuatnya dengan ekstra hati-hati, bersih, wsarnanya serasa dan lebih rapi
dari pada yang dia lukis di papan tulis itu– hanya diberi angka 6,7 (enam koma
tujuh) maka saya merasakan ada perasaan berontak dalam hati saya. Sebenarnya
saya tidak terbiasa bertanya atau memprotes nilai-nilai yang diberikan guru,
berapapun nilai itu angkanya. Waktu itu tak ada murid yang berani bertanya
apalagi membantah.
membuatnya dengan ekstra hati-hati, bersih, wsarnanya serasa dan lebih rapi
dari pada yang dia lukis di papan tulis itu– hanya diberi angka 6,7 (enam koma
tujuh) maka saya merasakan ada perasaan berontak dalam hati saya. Sebenarnya
saya tidak terbiasa bertanya atau memprotes nilai-nilai yang diberikan guru,
berapapun nilai itu angkanya. Waktu itu tak ada murid yang berani bertanya
apalagi membantah.
Tapi keramahan dan karakter kasih-sayangnya Pak
MN membuat saya sedikit berani untuk bertanya, “Mengapa nilai saya hanya
enam koma tujuh.” Padahal saya sudah mengira dan berharap akan mendapat
nilai lebih dari tujuh.
MN membuat saya sedikit berani untuk bertanya, “Mengapa nilai saya hanya
enam koma tujuh.” Padahal saya sudah mengira dan berharap akan mendapat
nilai lebih dari tujuh.
Tahu apa jawab Pak MN? Saya juga tidak tahu
rekan-rekan saya mendapat nilai berapa karena buku gambar kami dibagikan secara
pribadi. Diambil ke mejanya secara sendiri dan dalam keadaan tertutup. Saya
jelas tidak tahu berapa nilai yang diperoleh rekan-rekan saya hari itu.
rekan-rekan saya mendapat nilai berapa karena buku gambar kami dibagikan secara
pribadi. Diambil ke mejanya secara sendiri dan dalam keadaan tertutup. Saya
jelas tidak tahu berapa nilai yang diperoleh rekan-rekan saya hari itu.
Tahu apa kata Pak MN? Pak MN enteng saja menjawab
bahwa nilai saya itu sudah yang terbagus. Katanya itu nilai yang tertinggi di
kelas ini. Dia mengatakan dengan tenang penuh wibawa, “Jika kalian mampu
membuat gambar yang terbagus maka nilai yang akan saya beri adalah nilai tujuh.
Tidak akan lebih,” katanya dengan suara yang jelas dan penuh wibawa. Pak
MN memang sangat jelas jika dia berbnicara. Mungkin karena dia adalah guru MP
Bahasa Indonesia.
bahwa nilai saya itu sudah yang terbagus. Katanya itu nilai yang tertinggi di
kelas ini. Dia mengatakan dengan tenang penuh wibawa, “Jika kalian mampu
membuat gambar yang terbagus maka nilai yang akan saya beri adalah nilai tujuh.
Tidak akan lebih,” katanya dengan suara yang jelas dan penuh wibawa. Pak
MN memang sangat jelas jika dia berbnicara. Mungkin karena dia adalah guru MP
Bahasa Indonesia.
“Mengapa demikian, Pak? Apakah angka tujuah
adalah nilai yang terbaik?” Saya mencoba bertanya dengan baik-baik juga.
adalah nilai yang terbaik?” Saya mencoba bertanya dengan baik-baik juga.
“Buat murid, itulah nilai tertinggi yang
akan saya beri,” jelasnya lagi. “Mengapa? Karena nilai delapan adalah
nilai saya. Nilai sembilan adalah nilai guru saya. Dan angka sepuluh adalah
angka sempurna yang pantas buat Tuhan,” katanya tenang. Wah, tentu saja
saya terkejut. Selama ini saya tahu nilai terbaik adalah nilai angka sepuluh.
Kalau dapat sepuluh berarti harus belajar lagi. Tapi kalau nilai itu hanya
untuk Tuhan, bagaimana lagi?
akan saya beri,” jelasnya lagi. “Mengapa? Karena nilai delapan adalah
nilai saya. Nilai sembilan adalah nilai guru saya. Dan angka sepuluh adalah
angka sempurna yang pantas buat Tuhan,” katanya tenang. Wah, tentu saja
saya terkejut. Selama ini saya tahu nilai terbaik adalah nilai angka sepuluh.
Kalau dapat sepuluh berarti harus belajar lagi. Tapi kalau nilai itu hanya
untuk Tuhan, bagaimana lagi?
Maka tentu saja tidak mungkin memperpanjang
pertanyaan saya itu. Saya hanya bisa menerima saja. Rupanya murid tidak boleh
lebih hebat dari pada gurunya. Itu saja yang saya camkan dalam hati saya.
Jangan-jangan guru-guru berpikiran kalau murid ingin lebih hebat dari pada guru
maka si murid itu adalah murid yang tidak sopan, tidak bermoral atau apa saja.
Yang pasti, saya benar-benar tidak berpikir pernyataan guru saya itu adalah
pernyataan yang keliru.
pertanyaan saya itu. Saya hanya bisa menerima saja. Rupanya murid tidak boleh
lebih hebat dari pada gurunya. Itu saja yang saya camkan dalam hati saya.
Jangan-jangan guru-guru berpikiran kalau murid ingin lebih hebat dari pada guru
maka si murid itu adalah murid yang tidak sopan, tidak bermoral atau apa saja.
Yang pasti, saya benar-benar tidak berpikir pernyataan guru saya itu adalah
pernyataan yang keliru.
Kini, ketika saya sudah menjadi seorang guru
ternyata saya tidak setuju dengan perinsip dan pernyataan guru saya itu.
Justeru saya berpikir, para murid itu harus jauh lebih hebat dan lebih maju
dari pada yang dicapai para gurunya. Itu tidak bisa dipungkiri.
ternyata saya tidak setuju dengan perinsip dan pernyataan guru saya itu.
Justeru saya berpikir, para murid itu harus jauh lebih hebat dan lebih maju
dari pada yang dicapai para gurunya. Itu tidak bisa dipungkiri.
Dalam dunia yang begitu kian maju, teknologi yang
berkembang sangat cepat, sumber-sumber ilmu dan pengetahuan ada di mana-mana,
dan kesempatan untuk memperolehnya begitu luas dan mudah, pastilah kehebatan seorang
murid tidak lagi akan tergantung ke gurunya saja. Guru sudah lama tidak lagi
menjadi satu-satunya sumber ilmu. Jadi, buat guru di era modern ini perinsip
yang lebih tepat justeru ‘murid harus bisa lebih hebat dari pada gurunya’.
Perinsip ini tentu saja bukan karena kemauan si murid. Tapi jsuteru harus
menjadi obsesi guru itu sendiri. Dunia berpurar, bukan karena guru lebih jelek,
tapi karena kesempatan menjadi baik bagi murid sudah sangat terbuka luas.***
berkembang sangat cepat, sumber-sumber ilmu dan pengetahuan ada di mana-mana,
dan kesempatan untuk memperolehnya begitu luas dan mudah, pastilah kehebatan seorang
murid tidak lagi akan tergantung ke gurunya saja. Guru sudah lama tidak lagi
menjadi satu-satunya sumber ilmu. Jadi, buat guru di era modern ini perinsip
yang lebih tepat justeru ‘murid harus bisa lebih hebat dari pada gurunya’.
Perinsip ini tentu saja bukan karena kemauan si murid. Tapi jsuteru harus
menjadi obsesi guru itu sendiri. Dunia berpurar, bukan karena guru lebih jelek,
tapi karena kesempatan menjadi baik bagi murid sudah sangat terbuka luas.***