Cerpen DUKA CINTA DI AWAL CITA

BAGAI lingkaran  roda
mengitari jagat, begitu pula irama cinta ini kurasakan. Dia begitu patuh pada
filsafat rotasi itu. Tapi biarlah. Barangkali sampai kiamat pun kehidupan ini
akan tetap mengamalkan aturan tersebut. Sekali ke atas; sekali ke bawah. . ke
atas; ke bawah, ke atas lagi ke bawah lagi, dst…..

Entah laut
mana lagi yang mesti kuharungi – Entah gunung mana lagi yang harus kudaki dan tantangi
– Entah terjal mana lagi yang wajib kujalani – Rasanya, semua derita telah
kucoba menelan biar pahit sekalipun – Semua duka telah kurasakan meskipun sakit
– Tapi fajar kebahagiaan  kulihat malah kian
jauh – Jauuuuuh sekali – Sinar rembulan pun tambah layu di balik hitam awan –
Ah cinta – Sebenarnya begitu bening dirimu  – Sayang – Tapi sayang sekali – Jarak
menjurang masih menganga – Dan rintangan itu ada antara kau dan aku
…. aku berhenti sejenak, dan menatap wajah Yeni yang duduk di
sampingku, malam itu. Untaian kalimat itu meluncur begitu saja.
Kulihat Yeni tertunduk mendengar celotehku yang agak cengeng
bunyinya itu. Di depan sana, gemerisik dedaunan ditiup angin  malam seperti ikut merasakan kesedihan ini.
Sementara di taman langit, bintang–bintang
tak lagi indah kulihat. Dan di sini, di bawah rerimbunan flamboyan, dua anak
manusia sedang tercenung dan termenung memikirkan sesuatu, sesuatu yang mesti
ada dalam setiap remaja. Dua insan itu adalah aku dan Yeni.
Yani memandangku. Pandangan sayu penuh arti, aku kira. Di telaga matanya, kulihat
butiran bening mulai mengambang. Tapi di situ masih tetap juga kulihat danau
biru yang selama ini menyejukkan hatiku. Pipi itu mulai basah. Rasanya, ingin
ku kembali mengecup kening itu seperti hari–hari sebeleumnya. Namun keinginan
tersebut harus kusimpan jauh–jauh ke relung jantung yang paling dalam.
Lalu kuusap–lembut bening–bening air yang berderai itu.
“Kenapa, Yen?”
Sebenarnya pertanyaan ini tidak perlu kulontarkan. Aku tahu, Yeni
bersedih. Bukankah lewat surat kemarin, telah kuceritakan semuanya. Apa yang
ada dalam album cerita cinta kami, semuanya telah kusampaikan. Dan memang bagai
tak mungkin menyatukan aku dan dia. Dan malam ini, adalah malam terakhir semua
itu Yeni tentu telah mengerti karena sebelumnya telah kujelaskan.
Dia tidak menjawab.
“Seandainya masih ada bumi lain, Yen, aku akan pergi ke sana dan
membawa dirimu ke situ. Aku ingin melanjutkan cerita ini hingga kita sampai ke ujung
cinta yang sejuk. Tapi bukan di sini”.
Yeni masih bisu.
“Aku merasa di tanah ini tiada lagi tempat buat kita menyemaikan
benih cinta. Di sini begitu gersang, rasanya. Aku khawatir, cinta ini kelak
akan kering, lalu layu, dan itu berarti lebih getir dan tragis,” diam sebentar.
“Dan….engkau marah, Yen?” tanyaku pelan.
Dia memandang ke ujung sana. Sementara mutiara itu masih mengalir
di sudut bagian dalam matanya.
“Apakah engkau marah, Yen?” ulangku.
Ia menggeleng, pelan.
Mendadak jantungku berdebar. Aku ragu, apakah makna geleng itu. Apakah itu berarti Yeni memang
merelakan kepergianku tanpa setitik pun kesan di jantungnya?. Atau Yeni
menggeleng berarti melarangku pergi. Atau…..atau….yaakh…entahlah. Aku belum
dapat meraba dan memahami maknanya.
Kembali aku menatapnya. Menikmati wajahnya. Wajah yang telah kukagumi
dan menumbuhsuburkan benih cintaku dua tahun ini. Wajah yang kudambakan kelak,
membawa cahaya sejuk dalam hidupku. Wajah yang telah kulukis dalam denyut
nadiku. Pokoknya, dialah segalanya dalam hidupku. Dialah yang kuharapkan
pendamping hidupku kelak jika kami telah menutup lembaran ini dengan selembar
surat dari kadi. Itu tekadku sejak pertama aku mendekatinya. Sebab Yenilah yang
berhasil mencairkan hatiku yang sejak lama membeku.
Aku masih ingat, sebelum aku menemukan Yeni, dua tahun lamanya aku
membenci wanita. Semua wanita kuanggap sebagai yang terlalu menyakitkan.
Terlalu kejam. Aku tak tahu kegagalan cinta untuk pertama, adalah soal biasa
bagi setiap remaja. Benarlah apa yang dikatakan kakek–nenek, ‘putus cinta soal biasa,
putus satu datang seribu’. Untuk itu tak perlu sedih.
Tapi dulu, terus–terang saja, aku memang
tidak mengerti. Akibatnya, kepergian Fatmi dari sisiku karena dipaksa kawin
keluarganya, membuat aku kehilangan pedoman dan tempat bergantung.
Semangatku patah, seleraku buyar dan gairahku berkeping. Lucu?
Tapi itulah yang kulami.
Fatmi, gadis desa yang kucintai sejak aku masih di Es Pe Ge, dulu,
kini akan kawin dengan pemuda lain yang masih terbilang bertetangga denganku.
Hati siapa yang tidak akan hancur. Alasannya memang masuk akal. Karena terlalu
lama menanti aku yang masih sekolah, dari pada jadi ‘perawan tua’ kata
keluarganya, akhirnya ia pun memutuskan hubungannya denganku.
Aku benar–benar kecewa dibuatnya. Hatiku
serasa diiris. Maka sejak itu aku berjanji tidak akan main cinta lagi sebelum
aku punya pekerjaan dan kedudukan. Katakanlah, jaminan in come. Aku jadi buta cinta, melupakan asmara, bahkan ada yang
mengejekku pemuda sok alim.
Berlagak
suci. Pemuda yang anti pacaran. Tak mau mendekati suku hawa alias para ceweq;
dan entah apa lagi titelku diberi teman-temanku. Namun aku  tetap pada pendirianku, membenci wanita
kecuali ibu dan nenekku. (Kebetulan aku tak punya saudara perempuan).
Waktu terus merangkak ke ujungnya yang entah di mana.
Lama-lama ternyata batu hatiku mulai lembut dan berubah. Kian
lunak. Aku mulai merasa sunyi. Kesepian mulai menyelimuti hidupku. Hal ini
semakin kurasakan setelah aku diterima sebagai guru pada salah satu Es De di
kota Pekanbaru. Teman pendamping hidup mulai kurasakan perlu kehadirannya. Itu
tak bisa kubantah.
Betapa bahagianya rasa hatiku ketika surat pengangkatan itu keluar
dan kuterima dengan hati penuh bunga. Dan mulai sejak itu akupun mulai bertugas
sebagai guru. (Menjadi guru adalah cita-citaku sejak kecil). Pagi, siang dan
malam dalam pikiranku hanya ada status baruku sebagai guru. Aku ingin menjadi
guru yang baik.
Seperti Pak
Harun, guru kelasku dulu, ketika masih di Es De. Dia adalah guru yang sangat
disukai para murid. Yang penting kini, aku sudah mempunyai pekerjaan tetap. Aku
sudah punya gaji tetap.
Maka, hadirnya Yeni dalam hatiku setelah
bertugas kurang lebih setahun langs
ung kuanggap
sebagai keistimewaan dalam hidupku. Wanita yang selama ini kupandang sebagai
musuh ternyata membuat aku setengah edan
sejak pandangan pertama dengannya.
“Engkaulah wanita paling kukagumi di kulit bumi ini, Yen.” Kataku ketika untuk pertama kali aku
berkencan ke rumahnya, setahun lalu. Album luka bersama Fatmi rupanya dapat
juga terutup rapat. Ah, cinta memang aneh.
“Hhmm, bisa saja. Namanya saja rayuan gombal,” jawabnya sambil
menyunggingkan bibirnya yang aduhai.
“Aku benar, Yen,” sedikit aku bergeser. “Apakah engkau
meragukannya?”.
Berbagai topik menghiasi cerita kami. Maklum,
dua remaja yang saling dimabuk asmara.
“Bagaimana, Yen. Aku ingin mulutmu berkata
yang sebenarnya” Akhirnya aku minta kepastiannya. Tentang ini ia tidak
menjawab.
“Aku bukan main-main, Yen. Apakah kau masih ragu?”
Dia menatap padaku.
“Jawablah, Yen. Aku ingin kepastianmu”.
“Tapi….tt….tapi aku masiiih…” ucapannya tidak sampai selesai.
“Masih apa? Masih meragukannya, gitu?” potongku.
“Aku masih sekolah.” Mukanya sedikit merah.
“O itu. Itu bukan masalah. Sampai tamat aku bersedia menantimu,” jawabku kontan. Terus terang aku memang bukan ahli merayu.
“Apakah kakak tidak terlalu lama menunggunya?”
“Kalau begitu permintaanmu?” aku ingin terenyum rasanya. Dia
menyapaku dengan panggilan kakak.
Sejenak Yeni terdiam. Kemudian, “Tapi aku bukan seperti gadis–gadis
lain“.
“Hmm…?” tanyaku tanpa kalimat.
“Aku anak pingit… Nanti kakak menyesal.” seperti mengeluh.
“Ohh… itu. Aku mengerti, Yen. Tapi Yen, aku tidak seperti pria
yang kau duga juga, Yen. Justeru gadis seperti itulah yang kuharapkan. Dan aku
yakin, orang-orang seperti kamu sudah sangat langka. Terus–terang, aku
meragukan gadis-gadis yang terlalu bebas” Aku meyakinkannya dengan berbagai
cara.
Lalu dia diam.
Untuk beberapa saat hening saja. Aku bergeser lagi. Bertambah dekat lagi.
“Yen” Dengan nada yang sedikit bergetar ke jantungku.
Kuletakkan tanganku di bahunya.
Ia menatapku. Tapi  tetap
bisu. Hanya di mata itu kulihat beribu makna.
Entah dari mana gerak itu datangnya, Yeni mengulurkan tangannya.
Hanya beberapa saat, diapun sudah berada dalam pelukanku.
Rasanya aku tidak tahu sedang di mana aku
saat itu.
Dari waktu itulah pertama kali aku
memeluknya.
Begitulah, waktu terus berjalan bersama cinta
yang kami sembunyikan berdua. Kedua orang tuanya tidak tahu. Untuk ini Yeni
memang menginginkannya begitu.
Sesungguhnya aku dan Yeni selalu berusaha
agar abah dan mak Yeni tahu hubungan kami. Beberapa kali malam minggu aku juga
datang ke rumah Yeni.  Apakah orang tua
Yeni sama sekali memang tidak tahu hubungan kami? Atau mungkin pura-pura tidak
tahu?
Setahun lamanya kami membina hubungan. Tapi
orang tua Yeni, terutama emaknya tidak juga pernah kulihat seperti akan
merestuinya.
Dia selalu sinis jika aku datang
berkunjung ke rumahnya. Dan malam ini aku harus menunjukkan kepada Yeni, bahwa
aku juga bisa berbuat walaupun dengan menelan kepahitan untuk kedua kalinya,
tekadku.
“Yen. Aku mengerti dengan perasaanmu. Tapi aku juga percaya, sesungguhnya tak ada gunanya bersedih. Toh
ibumu tidak bakal merestui hubungan kita.” Aku kembali bersuara. Dan inilah
problema cinta kami sebenarnya.
“Kak”. Suaranya itu bagai tersekat di
kerongkongannya.
“Bila selama ini kita selalu saja bersembunyi
karena kau selalu bilang takut pada orang tuamu, sebenarnya kenyataan itu saja
tidaklah soal bagiku. Kalau memang orang tuamu tidak bisa menerima konsep
pacaran ala jaman ini, yaakh terserahlah. Itu hak mereka. Lagi pula kewajib
annya untuk selalu mengawasi anak gadisnya. Aku hanya memandangnya
sebagai suatu perjuangan yang mesti kutembus demi melati yang lebih suci dan murni.”
Diam sejenak. Kami hanya saling pandang.
“Yeni pun pernah bilang, dulu. Aku mengerti kalau kedua orang
tuamu adalah orang yang taat dengan ajaran agama. Alim, dan….” aku tidak melanjutkan.
“Tapi kenapa,” Yeni memotong,” Kakak  seperti telah berubah?”
Tak kujawab pertanyaan itu. “Dan aku yang selalu berusaha
mengunjungimu itu adalah bukti bahwa aku bukan main-main. Hanya sikap ibumu
itu, Yen. Memedihkan. Aku sadar, yang kubawa hanyalah cinta tulus. Bukan harta
kekayaan bergelimang pulus. Kebetulan
aku dilahirkan dalam keluarga miskin. Bukan seperti engkau, Yen. Dulu aku masih
percaya, kalau cinta suci melebihi segalanya. Ternyata itu hanya ada dalam
teori. Sedang dalam kenyataannya, harta masih tetap lebih berkuasa dari apa
saja. Harta ternyata lebih berharga dari manusia itu sendiri.”
“Kak”. Yeni mendekatkan duduknya kembali. Tangannya diletakkannya
di atas lututku,”Aku tak ingin mendengar perkataan itu”
“Tapi itulah kenyataannya, Yen” Aku meremas jari lembut itu dengan
mesra sekali. Aku menatapnya.”Dan kau tidak bersalah dalam hal ini. Hanya kau
juga mesti patuh pada orang yang telah membesarkanmu, Yen”
“Yen nggak mau, kak. Yeni akan ikut kemana saja” Lalu ia merebahkan kepalanya ke dadaku. Aku mengusap rambut panjang itu.
“Tenangkan hatimu, Yen,” bujukku.
“Tapi Yen nggak mau ditinggal.” Yeni separoh merengek dalam
pelukanku. Sepertinya Yeni tidak ikhlas jika harus berpisah. Tapi aku juga kian
sadar bahwa jurang antara aku dan keluarganya tidak mungkin terjangkau.
“Tapi masih sekolah, kan?” kalimat itu
kuharapkan menyadarkan Yeni.
Ia terdiam. Barangkali dia teringat kata-katanya tempo hari. “Ini hanya demi nilai lelakiku di mata orang
tuamu, Yen.
Aku bukan mengecewakan hatimu.”
“Mungkin kakak telah lupa dengan janjinya.”
“Tidak semudah ucapan itu aku melaupakannya, Yen. Percayalah. Ini
demi tugasku belaka. Aku tidak bisa menawarnya.”
“Jadi Kakak tetap pada pendirian dalam
surat itu?”
“Kita jangan terlalu menurutkan perasaan, Yen.
Semua ini sudah kuperhitungkan.”
Yeni diam.
“Dan satu lagi yang paling berharga bagi kita, Yen. Kiranya kita
bisa menerima kenyataan ini sebagai hal yang wajar. Bukankah hidup kita masih
panjang? Lagi pula, cita-cita kita mesti kita pertimbangkan.”
“Tapi…tta…tt…tapi…” akhirnya Yeni tidak bisa menahan tangisnya,
meski tanpa suara. Aku memeluknya lebih kuat. Sementara Yeni berusaha menahan
tangisnya dalam pelukanku.
“Sabarlah, Yen. Suatu waktu mungkin ibumu tidak akan seperti
sekarang lagi. Percayalah aku berbuat ini hanya demi ketenangan hatimu jua. Tak
lebih. Aku tak tega melihat kamu selalu dikucilkan hanya karena kita
berhubungan. Meskipun mutasi ini bukan atas permintaanku tapi mungkin Tuhan
sudah mengaturnya begitu. Barangkali untuk ketenangan kita berdua meski harus
berpisah.”
“Apa jadinya hubungan yang tidak direstui orang tua. Kamu akan
lebih menderita jadinya. Lebih baik kita ambil tindakan seperti ini. Mungkin
untuk sementara seperti inilah kita harus menerimanya. Tapi aku percaya, hari
ini tidak sama dengan kemarin.
Dan esok juga tidak akan sama dengan hari ini dan lusa. Kita akan berusaha
hari-hari ke depan lebih baik daripada hari-hari yang ditinggalkan.
Percayalah. Jika aku sukses mungkin akan dipindahkan lagi ke kota
ini.”
Sepi kembali.
“Yen. Aku mohon doa darimu. Mungkin dua atau tiga hari lagi aku
akan meninggalkan kota ini. Aku ingin pula menyumbangkan tenagaku di desa.
Kebetulan aku ditempatkan di salah satu Es De Inpres di sana. Aku dimutasi ke
sana untuk mengisi kebutuhan guru buat sekolah baru.
Aku harap, Yeni mau memahami keadaan kita
ini.
Kepergianku bukan lari darimu. Tapi kepergianku ini adalah untuk
mencari dirimu. Percayalah, suatu saat perpisahan ini akan ada pertemuannya.”
Berhenti aku sebentar berkhutbah. Barangkali Yeni sudah terlalu puas. “Dan
pertemuan waktu itu akan terasa lebih indah dari semua ini, Yen.”
Dia hanya tengadah menatapku.
“Selamat malam, Yen.” Dengan perlahan kulepaskan Yeni dari
pelukanku, “daaaagg…,” aku melambaikan 
tangan sambil melangkah meninggalkan tempat itu.
***
Telah dimuat Koran Swadesi,Jakarta, 26.12.1982

*Dari Buku Duka Cinta di Awal Cita (M. Rasyid Nur)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *