Menatap Wajah Pendidikan Kita: Maladministrasi Sumber Kerusakan (Mengenang Hardiknas)

Oleh Drs. Syafaruddin Mukhtar, M. Pd

SATU hal yang ingin saya catat dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2020 ini adalah perihal terjadinya semacam  hidden curriculum dalam pendidikan kita. Meskipun tidak selalu negatif, namun beberapa kenyataan yang negatif itulah yang membuat risau. Setelah 130-an tahun Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara kita kenang kelahirannya, ternyata pendidikan kita belum juga menghasilkan sesuatu yang seharusnya sebagaimana harapan. Kurikulum memberikan patokan-patokan, lalu guru menyampaikan ke siswa/ mahasiswa. Tapi hasilnya, itulah yang masih membuat sedihnya.
Bagaimana wajah pendidikan kita sebenarnya saat ini? Kalau hakekat pendidikan itu adalah mengubah hidup agar menjadi lebih baik, seperit yang banyyak disampaikan oleh filosof, “Education is not an end on itself, but to make people get a better life,”  maka pertanyaannya, sudahkah kita hidup lebih baik dengan semakin berjibunnya orang-orang terdidik saat ini? Apakah orang-orang terdidik saat ini adalah orang yang sama seperti harapan Ki Hajar Dewantara, misalnya?
Secara sosiologis pendidikan itu adalah usaha sistemik menanamkan nilai-nuilai luhur, universal  pada peserta didik agar nilai-nilai itu dapat dipegang teguh sebagai jati dirinya dalam kehidupan sehingga proses dan output pendidikan menjadi lebih baik. Lalu kita bertanaya, “Apakah nilai-nilai luhur itu?” Pertanyaan sederhana tapi perlu jawabannya.
Untuk menjawab ini, sebaiknya kita merujuk definisi yang berbunyi begini, “Value is any thing satisfying people.” Merujuk pada definisi ini, merasa puaskah kita  melihat orang yang jujur, berani mengungkapkan kebenaran, berintegritas, taat aturan hukum dan agama, suka bekerja keras? Kalau kita masih senang dengan orang yang berkarakter seperti itu, berarti kita masih sepaham dengan nilai-nilai luhur dan universal itu.
Untuk itu, semakin berjibunnya orang-orang yang terdidik, sampai pada jenjang pendidikan dan pangkat paling tinggi, bahkan banyak sudah yang memegang jabatan tinggi dan strategis, sudahkah mereka-mereka itu menjadi model sebagai orang yang memegang teguh nilai-nilai luhur itu? Saya menduga, mungkin semua kita masih sangat kecewan karena nyatanya tidak. Justeru perilaku mereka banyak yang sebaliknya. Boleh jadi, itulah salah satu bentuk penyimpangan kurikulum yang terjadi.
Dengan alasan itu, bumi Pertiwi ini sangat rindu dengan kehadiran sosok yang dapat memegang teguh nilai-nilai luhur itu dalam setiap langkah, sikap dan keputusannya. Hal ini sangatlah penting terutama tentu bagi orang yang mempunyai posisi kuat (position power) dalam negeri ini. Target utama pendidikan, itulah sesungguhnya.
Bagaiman mengubah itu semua? Makagiansar mengingatkan bahwa mengubah itu semua harus dimulai dengan mengubah kualitas proses pendidikan. Kita mesti memulainya dari proses pendidikan itu sendiri. Untuk memperbaiki proses itu, kita harus mulai mengetahui proses dan kondisi riil atau yang sering disebut dengan absolutely state of art kondisi pendidikan kita saat ini. Kita harus menatap wajah pendidikan kita hari ini. Seperti apa sesungguhnya?

Bagaimana kita memandang orang tertentu, bahkan menjadi orang-orang penting di negeri ini namun berperilaku tidak benar? Lain yang diucapkan, tapi lain pula yang dilakukan. Tegasnya, terjadi berbagai kebohongan oleh kita. Apa yang salah dengan kenyataan itu?

Salah satu kemungkinannya adalah karena terjadinya maladministrasi dalam sistem pendidikan kita. Kesalahan yang terkadang disengaja ini diperkirakan sudah lama terjadi di negeri ini. Artinya proses pendidikan di negeri ini hendaknya menjadi perhatian. Tidak boleh dibiarkan keteledoran bahkan kebiasaan kesalahan yang sesungguhnya itu boleh disenagaja. Sekali lagi, untuk hal ini memang diperlukan state of art itu.

Untuk mengetahui state of art lagi-lagi diperlukan sosok yang jujur dan berani membela kebenaran. Bukan orang yang membela yang mengangkatnya. Oleh karena itu sudah saatnya kita mulai memperhatikan perilaku manajemen dari pada sekadar terus menyalahkan kurikulum dan metodologi pembelajaran. Manajemen pendidikan adalah kunci dari target hasil yang diinginkan.

Jikapun akan terjadi hidden curriculum dalam fakta hasil pendidikan kita, sejatinya kita ingin penyimpangan itu dalam bentuk yang baik dan positif. Kita berharap, seseorang yang belajar matematika untuk target berhitung dalam angka-angka ketika pembelajaran saja, kiranya dia bisa menjadi manusia yang justeru mampu membuat berbagai perhitungan dalam kehidupannya sendiri. Tidak sekadar berhitung dalam matematika belaka. Bisakah? Teladan dari orang-orang yang baik, adalah kuncinya. ***


Drs. Syafaruddin Mukhtar, M. Pd
S1 IKIP(UNP), S2 UNJ, dlm wkt dekat akan ujian Disertasi S3 di UIN, joint research dgn McGill 2001 dan 2003 melalui CIDA, Sandwich program th 2007 di Leiden dan Alumni kerja sama dgn HELM USA, Diknas dan Kemenag RI, peneliti ARP dlm perbaikan manajemen kemahasiswaan bekerja dgn mentor Kentucky University melalui HELM

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *