44 Views
BERKALI-KALI ayah
mencoba merekonstruksi peristiwa itu dalam pikirannya. Bagaimana bisa berlaku
begitu saja. Begitu mudah. Aneh. Diingat-ingatnya satu per satu urutan
kejadiannya. Tapi ia tetap tak mampu mengumpulkan serpihan kekecewaan yang amat
mendalam itu.
mencoba merekonstruksi peristiwa itu dalam pikirannya. Bagaimana bisa berlaku
begitu saja. Begitu mudah. Aneh. Diingat-ingatnya satu per satu urutan
kejadiannya. Tapi ia tetap tak mampu mengumpulkan serpihan kekecewaan yang amat
mendalam itu.
Aku seperti kehilangan kesadaran, keluh ayah
suatu pagi. Dia termenung sendiri. Mengapa begitu mudah, itu berlaku. Tak
dapat aku memahaminya, gumamnya di hati. Ayah masih dengan mimik amat menyesal
dan sedih.
suatu pagi. Dia termenung sendiri. Mengapa begitu mudah, itu berlaku. Tak
dapat aku memahaminya, gumamnya di hati. Ayah masih dengan mimik amat menyesal
dan sedih.
“Saya benar-benar tolol. Goblok,” sambil memukulkan tinju ke atas
meja di depannya.
meja di depannya.
“Apa saja yang dibawanya kabur, Ayah?” Saya
menyela setelah hampir setengah jam ayah berkicau seperti orang kesurupan.
menyela setelah hampir setengah jam ayah berkicau seperti orang kesurupan.
“Duit saya amblas. Duit kontan
lagi. Kalau sewa kamar, cuci pakaiannya dan lain-lain tetek bengek itu, saya
tak begitu kesal. Tapi simpanan setahun itu begitu saja saya menyerahkannya.
Goblok. Tolol. Benar-benar tolol saya ini.” Ayah tampak geram.
lagi. Kalau sewa kamar, cuci pakaiannya dan lain-lain tetek bengek itu, saya
tak begitu kesal. Tapi simpanan setahun itu begitu saja saya menyerahkannya.
Goblok. Tolol. Benar-benar tolol saya ini.” Ayah tampak geram.
Sebenarnya saya tak ingin mencampuri masalah
ayah. Dari dulu, ayah tak pernah bisa menerima apa saja dari kami,
anak-anaknya. Ayah selalu membanggakan kemandiriannya. Mampu mengumpulkan dan
mengembangkan uangnya. Mampu hidup ‘membujang’ di kapal perang dalam waktu yang
sangat panjang. Mampu membesarkan dan menyulap kami yang sembilan orang ini
menjadi ‘orang’. Tentang yang satu ini saya memang salut sekali kepadanya.
Semua kami sekolah sampai minimal sarjana muda. Dan banyak lagi yang selalu
dibanggakannya kepada kami.
ayah. Dari dulu, ayah tak pernah bisa menerima apa saja dari kami,
anak-anaknya. Ayah selalu membanggakan kemandiriannya. Mampu mengumpulkan dan
mengembangkan uangnya. Mampu hidup ‘membujang’ di kapal perang dalam waktu yang
sangat panjang. Mampu membesarkan dan menyulap kami yang sembilan orang ini
menjadi ‘orang’. Tentang yang satu ini saya memang salut sekali kepadanya.
Semua kami sekolah sampai minimal sarjana muda. Dan banyak lagi yang selalu
dibanggakannya kepada kami.
Kecuali saya yang masih menunggu proses
pengangkatan di Depdiknas, semua kakak dan abang saya telah lama mandiri di
berbagai instansi dan departemen. Malah hampir semua mereka sukses dalam karir
masing-masing. Hanya Kak Ana yang tetap menjadi guru Taman Kanak-kanak. Tapi
keluarganya pun bukanlah orang rendahan. Suaminya Kapolsek. Jadi, sayalah
satu-satunya yang masih ting-ting.
pengangkatan di Depdiknas, semua kakak dan abang saya telah lama mandiri di
berbagai instansi dan departemen. Malah hampir semua mereka sukses dalam karir
masing-masing. Hanya Kak Ana yang tetap menjadi guru Taman Kanak-kanak. Tapi
keluarganya pun bukanlah orang rendahan. Suaminya Kapolsek. Jadi, sayalah
satu-satunya yang masih ting-ting.
Semua kakak dan abang saya sangat sayang
kepada ayah. Termasuk saya juga sayang kepada ayah, tentu.
Terlebih-lebih sejak ayah pensiun dari dinas sebagai tentara di laut. Tapi
ayah tetap tabu menerima pemberian anak-anaknya. Dia tidak bisa mengubah
perinsip itu. Jangan kan menerima berupa materi, sedangkan saran saja
dia tidak mudah menerima. Ayah memang egois.
kepada ayah. Termasuk saya juga sayang kepada ayah, tentu.
Terlebih-lebih sejak ayah pensiun dari dinas sebagai tentara di laut. Tapi
ayah tetap tabu menerima pemberian anak-anaknya. Dia tidak bisa mengubah
perinsip itu. Jangan kan menerima berupa materi, sedangkan saran saja
dia tidak mudah menerima. Ayah memang egois.
Begitu bangganya dia dengan sikapnya itu,
sampai ia pensiun pun ia mengatakan untuk tidak minta apa-apa dari kami,
anak-anaknya. Saya sanggup ’mencari’ sendiri, katanya selalu. Tidak usah kalian
risaukan. Biasakanlah hidup berdikari. Berdiri di atas kaki sendiri.
Bahagiakanlah keluarga dan anak-anak kalian. Begitu selalu ayah menasehati
kami. Ayah akan berusaha tidak menyusahkan kalian, katanya berulang-ulang.
sampai ia pensiun pun ia mengatakan untuk tidak minta apa-apa dari kami,
anak-anaknya. Saya sanggup ’mencari’ sendiri, katanya selalu. Tidak usah kalian
risaukan. Biasakanlah hidup berdikari. Berdiri di atas kaki sendiri.
Bahagiakanlah keluarga dan anak-anak kalian. Begitu selalu ayah menasehati
kami. Ayah akan berusaha tidak menyusahkan kalian, katanya berulang-ulang.
Itulah sebabnya ayah menyulap sederet rumah
petaknya menjadi penginapan, tidak lama setelah pensiun. Lalu dia menjadi
manajer sekaligus sebagai pesuruh di penginapan itu. Ibu yang sukses menjadi
ibu kost dari hampir seratus pekerja di Batam juga atas izin ayah. Ibu sejak
dulu juga diajar sibuk mengurus bermacam usaha untuk mendatangkan uang. Kini
pun menjalani hidup mandiri dengan usaha kateringnya di Batam. Ayah jarang
sekali meminta ibu pulang untuk bersama mengurus penginapan itu.
petaknya menjadi penginapan, tidak lama setelah pensiun. Lalu dia menjadi
manajer sekaligus sebagai pesuruh di penginapan itu. Ibu yang sukses menjadi
ibu kost dari hampir seratus pekerja di Batam juga atas izin ayah. Ibu sejak
dulu juga diajar sibuk mengurus bermacam usaha untuk mendatangkan uang. Kini
pun menjalani hidup mandiri dengan usaha kateringnya di Batam. Ayah jarang
sekali meminta ibu pulang untuk bersama mengurus penginapan itu.
Ayah selalu mengatakan mampu mengelola
penginapan sendirian. Apalagi ini kan hanya kota kecamatan, katanya suatu hari
kepada kami, putra-putrrinya. Kami memang keberatan kalau ayah harus
‘membujang’ lagi justeru pada saat rambut sudah ubanan. Cukuplah ayah membujang
ketika dulu harus mengikuti petualangan antar negara di kapal perang karena
dinas demi negara. Sekarang janganlah lagi. Tapi ayah tetap ayah. Pendiriannya
tak mudah goyah.
penginapan sendirian. Apalagi ini kan hanya kota kecamatan, katanya suatu hari
kepada kami, putra-putrrinya. Kami memang keberatan kalau ayah harus
‘membujang’ lagi justeru pada saat rambut sudah ubanan. Cukuplah ayah membujang
ketika dulu harus mengikuti petualangan antar negara di kapal perang karena
dinas demi negara. Sekarang janganlah lagi. Tapi ayah tetap ayah. Pendiriannya
tak mudah goyah.
“Sayang kamu tak kenal lelaki kurus penipu
itu.” Suara ayah sebagian tertelan oleh rasa kesal dan sedihnya. Ayah seperti
enggan menatap saya.
itu.” Suara ayah sebagian tertelan oleh rasa kesal dan sedihnya. Ayah seperti
enggan menatap saya.
“Saya memang terlambat sampai ke sini. Tadinya
saya mampir di Batam, ke tempat ibu. Abang juga melarang saya ke sini dulu
sambil menunggu SK itu. Tapi akhirnya dia belikan juga tiket pesawat
Surabaya–Batam PP,” kata saya menjelaskan mengapa saya agak lambat sampai dari
Surabaya.
saya mampir di Batam, ke tempat ibu. Abang juga melarang saya ke sini dulu
sambil menunggu SK itu. Tapi akhirnya dia belikan juga tiket pesawat
Surabaya–Batam PP,” kata saya menjelaskan mengapa saya agak lambat sampai dari
Surabaya.
“Itulah. Coba kamu datang lebih awal ke sini,
kamu akan tahu penipu iblis itu. Orangnya begitu kelihatan jujur dan baik”
kamu akan tahu penipu iblis itu. Orangnya begitu kelihatan jujur dan baik”
Saya diam. Kamar tamu penginapan itu juga
diam.
diam.
“Dua pekan dia menginap di sini. Hanya empat
hari pertama yang telah dibayarnya. Masih sebelas hari lagi, kan? Coba kalian
bayangkan. Ditambah bon-bonannya yang lain, sudah berapa itu kerugian saya?”
hari pertama yang telah dibayarnya. Masih sebelas hari lagi, kan? Coba kalian
bayangkan. Ditambah bon-bonannya yang lain, sudah berapa itu kerugian saya?”
“Jadi sewa kamar belum dibayarnya? Apakah…”
“Itu tidak saya sesalkan, sebenarnya,” ayah
memotong. “Uang kontan saya itu yang membuat saya setengah gila. Jumlahnya
sepuluh kali atau bahkan belasan kali utangnya itu jumlahnya. Itu
kan simpanan satu tahun. Rencananya uang itu untuk penambah kamar mandi bagian
atas.” Ayah memperlihatkan gambar rencana pembuatan kamar mandi yang dibuatnya
sendiri. “Lama saya membuat gambar ini,” lanjutnya seperti membanggakan.
memotong. “Uang kontan saya itu yang membuat saya setengah gila. Jumlahnya
sepuluh kali atau bahkan belasan kali utangnya itu jumlahnya. Itu
kan simpanan satu tahun. Rencananya uang itu untuk penambah kamar mandi bagian
atas.” Ayah memperlihatkan gambar rencana pembuatan kamar mandi yang dibuatnya
sendiri. “Lama saya membuat gambar ini,” lanjutnya seperti membanggakan.
Saya ingin bertanya banyak kepada ayah
mengenai kasus penipuan itu. Bagaimana mulanya; apakah ayah tak curiga sama
sekali dengan gerak-gerik dan bicara orang itu. Sebagai pensiunan angkatan laut
yang masa emasnya kenyang menjelajahi negeri Beruang Merah yang terkenal dengan
KGB-nya itu, kok begitu mudah tertipu tamu sendiri. Bukankah ayah adalah orang
yang tak mudah begitu saja menerima ucapan orang? Dimana keteguhannya selama
ini? Hati saya juga galau.
mengenai kasus penipuan itu. Bagaimana mulanya; apakah ayah tak curiga sama
sekali dengan gerak-gerik dan bicara orang itu. Sebagai pensiunan angkatan laut
yang masa emasnya kenyang menjelajahi negeri Beruang Merah yang terkenal dengan
KGB-nya itu, kok begitu mudah tertipu tamu sendiri. Bukankah ayah adalah orang
yang tak mudah begitu saja menerima ucapan orang? Dimana keteguhannya selama
ini? Hati saya juga galau.
Ingin juga saya bertanya apakah saya harus
menghubungi seluruh abang dan kakak-kakak yang lain untuk memberi tahu
kasus ini? Saya yakin, lebih banyak dari itu anak-anaknya yang bertaburan di
berbagai kota –bukan hanya kota-kota besar di Indonesia, juga ada yang di
Hongkong, Johor Baru dan Los Angeles– akan mampu menebus uang ayah yang raib
itu. Sepuluh kali jumlah itu pun pasti mampu mereka kumpulkan. Tapi apakah ayah
mau?
menghubungi seluruh abang dan kakak-kakak yang lain untuk memberi tahu
kasus ini? Saya yakin, lebih banyak dari itu anak-anaknya yang bertaburan di
berbagai kota –bukan hanya kota-kota besar di Indonesia, juga ada yang di
Hongkong, Johor Baru dan Los Angeles– akan mampu menebus uang ayah yang raib
itu. Sepuluh kali jumlah itu pun pasti mampu mereka kumpulkan. Tapi apakah ayah
mau?
“Apakah uang itu perlu sekali, ayah?”
“Pertanyaan bodoh. Ya perlu, toh?”
“Maksud saya, apakah kami harus meggantinya?
Biar saya kasih tahu…”
Biar saya kasih tahu…”
“Nah, kamu menambah problem saya. Jangan.
Jangan. Kamu jangan coba-coba beri tahu mereka. Aku tak suka. Kamu tahu, itu
kan?”
Jangan. Kamu jangan coba-coba beri tahu mereka. Aku tak suka. Kamu tahu, itu
kan?”
Saya terperangah. Ternyata peristiwa itu tak
mampu menggeser batu karang pendirian yang begitu kokoh menginap di hatinya.
mampu menggeser batu karang pendirian yang begitu kokoh menginap di hatinya.
“Ibumu juga jangan kau beritahu. Itu
memalukan.”
memalukan.”
“Kalau begitu… Mungkin belum rezeki, yah.
Boleh jadi Tuhan sedang menegur.” Suara saya, saya usahakan serendah mungkin.
Saya khawatir ayah salah tangkap. Sesungguhnya saya ingin mengatakan apa yang
selalu disampaikan pak Ustaz atau para khatib di mesjid sebelah rumah sekaligus
penginapan ayah.
Boleh jadi Tuhan sedang menegur.” Suara saya, saya usahakan serendah mungkin.
Saya khawatir ayah salah tangkap. Sesungguhnya saya ingin mengatakan apa yang
selalu disampaikan pak Ustaz atau para khatib di mesjid sebelah rumah sekaligus
penginapan ayah.
Kalau punya harta jangan lupa di dalamnya ada
hak orang lain. Jangan dimakan semua. Ibarat membeli ikan, jangan dimakan
sampai tahi dan tulang-tulangnya. Kalau tahi dan tulang dimakan juga alamat
akan dapat bahaya. Begitu Pak Ustaz memberi perumpamaan. Jangan-jangan itu
adalah hak orang lain. Ah, tapi saya takut menyebutnya. Saya tidak berani
menyampaikan itu kepada ayah.
hak orang lain. Jangan dimakan semua. Ibarat membeli ikan, jangan dimakan
sampai tahi dan tulang-tulangnya. Kalau tahi dan tulang dimakan juga alamat
akan dapat bahaya. Begitu Pak Ustaz memberi perumpamaan. Jangan-jangan itu
adalah hak orang lain. Ah, tapi saya takut menyebutnya. Saya tidak berani
menyampaikan itu kepada ayah.
“Ha?” ayah menatap saya. Tajam sekali.
Saya berusaha menghindari tusukan matanya
yang tajam itu. Saya khawatir ayah tersinggung karena salah pengertian oleh
ucapan saya.
yang tajam itu. Saya khawatir ayah tersinggung karena salah pengertian oleh
ucapan saya.
“Apa kata kamu? Tidak rejeki? Jadi uang itu
bukan rejeki, begitu?” Suaranya agak tinggi.
bukan rejeki, begitu?” Suaranya agak tinggi.
“Itu kan hasil keringat saya. Jerih payah
saya di penginapan ini? Kamu tahu, itu bukan hasil korupsi atau manipulasi
jabatan seperti yang sibuk di koran-koran itu? Itu uang halal. Kamu jangan
bodoh, hah?.” Ayah tampak emosi. Matanya merah. Mungkin dia tersinggung, karena
saya menghubung-hubungkan persoalan itu dengan nama Tuhan. Hal yang selama ini
selalu tak disukainya.
saya di penginapan ini? Kamu tahu, itu bukan hasil korupsi atau manipulasi
jabatan seperti yang sibuk di koran-koran itu? Itu uang halal. Kamu jangan
bodoh, hah?.” Ayah tampak emosi. Matanya merah. Mungkin dia tersinggung, karena
saya menghubung-hubungkan persoalan itu dengan nama Tuhan. Hal yang selama ini
selalu tak disukainya.
Saya tahu, ayah percaya kepada Tuhan. Tapi
ayah tidak pernah berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Bahkan rumah ibadah
yang pagarnya berbatasan dengan penginapan ini pun amat jarang didatangi ayah.
Terkadang saya malu juga mendengar gunjingan masyarakat sini. Sudah bau tanah
belum juga hendak ke masjid, kata mereka.
ayah tidak pernah berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Bahkan rumah ibadah
yang pagarnya berbatasan dengan penginapan ini pun amat jarang didatangi ayah.
Terkadang saya malu juga mendengar gunjingan masyarakat sini. Sudah bau tanah
belum juga hendak ke masjid, kata mereka.
“Maksud saya, mungkin kita kurang waspada dan
terlalu terbuai oleh nomor itu, ayah.” Saya ingat cerita ayah, gara-gara
nomor Si Ji alias judi togel itulah ayah
tertipu. Saya juga tahu kalau ayah diam-diam memang sering membeli kartu putih
itu, selama ini.
terlalu terbuai oleh nomor itu, ayah.” Saya ingat cerita ayah, gara-gara
nomor Si Ji alias judi togel itulah ayah
tertipu. Saya juga tahu kalau ayah diam-diam memang sering membeli kartu putih
itu, selama ini.
Ayah menatap saya sekali lagi. Tapi tidak
setajam pandangan pertama tadi. Ada butiran embun mengambang di tepi telaga
mata itu, saya lihat. Air matanya berderai. Ayah menangis. Saya menjadi serba
salah menyaksikan peristiwa yang menurut saya lebih dramatis dari kasus
penipuan itu. Saya kira, seumur-umur saya inilah pertama kali ayah meneteskan
air mata oleh suatu masalah. Menyesal?
setajam pandangan pertama tadi. Ada butiran embun mengambang di tepi telaga
mata itu, saya lihat. Air matanya berderai. Ayah menangis. Saya menjadi serba
salah menyaksikan peristiwa yang menurut saya lebih dramatis dari kasus
penipuan itu. Saya kira, seumur-umur saya inilah pertama kali ayah meneteskan
air mata oleh suatu masalah. Menyesal?
Adakah ayah telah mendapat sesuatu yang lebih
mahal dibandingkan uangnya yang hilang itu? Adakah batu karang yang begitu lama
bercokol di hatinya akan mencair? Saya melihat ayah mengusap matanya yang
basah.
mahal dibandingkan uangnya yang hilang itu? Adakah batu karang yang begitu lama
bercokol di hatinya akan mencair? Saya melihat ayah mengusap matanya yang
basah.
“Mungkin juga,” tiba-tiba dia memecah
kesunyian. “Saya mungkin telah begitu lengah. Dan Si Ji ini…”
ayah mengeluarkan beberapa lembar kertas putih ukuran kecil yang hanya tertulis
pena biasa tanpa cap dan tanpa kop. Padahal dulu dia selalu merahasiakannya.
kesunyian. “Saya mungkin telah begitu lengah. Dan Si Ji ini…”
ayah mengeluarkan beberapa lembar kertas putih ukuran kecil yang hanya tertulis
pena biasa tanpa cap dan tanpa kop. Padahal dulu dia selalu merahasiakannya.
“Si Ji ini telah membuat saya
begitu mudah terbius omongan orang licik itu,” sambil mengakui dengan jujur
kalau ayah sudah begitu banyak menghabiskan uang untuk membeli lotere Singapura
yang telah begitu merasuk masyarakat pulau tempat tinggalnya itu.
begitu mudah terbius omongan orang licik itu,” sambil mengakui dengan jujur
kalau ayah sudah begitu banyak menghabiskan uang untuk membeli lotere Singapura
yang telah begitu merasuk masyarakat pulau tempat tinggalnya itu.
“Saya ingat, ya saya ingat, ketika bajingan
itu datang ke penginapan ini dua minggu lalu.“ Ayah kembali menceritakan kisah
tragis itu.
itu datang ke penginapan ini dua minggu lalu.“ Ayah kembali menceritakan kisah
tragis itu.
“Mula-mula dia datang, katanya dia sudah
untuk kedua kali menginap di sini. Badannya memang kurus. Tapi pakaiannya
tampak parlente. Necis. Namanya A Siong. Katanya touke dari Singapura. Saya
percaya sekali dengan suaranya yang begitu terdengar jujur.”
untuk kedua kali menginap di sini. Badannya memang kurus. Tapi pakaiannya
tampak parlente. Necis. Namanya A Siong. Katanya touke dari Singapura. Saya
percaya sekali dengan suaranya yang begitu terdengar jujur.”
Diam sebentar.
“Selama lima hari pertama dia menginap dia sudah begitu akrab
dengan saya. Segala rahasia perdagangan dan kesuksesannya dia ceritakan kepada
saya. Kebetulan kapalnya rusak dan menjangkar di ujung pulau sana, maka dia
menginap di sini sambil menunggu kapal itu kelar. Begitu pengakuannya. Kamu
tahu, masih ada tiga kapalnya yang lain yang tengah dikendalikannya.” Ayah
begitu bersemangat menceritakan bualan penipu itu.
dengan saya. Segala rahasia perdagangan dan kesuksesannya dia ceritakan kepada
saya. Kebetulan kapalnya rusak dan menjangkar di ujung pulau sana, maka dia
menginap di sini sambil menunggu kapal itu kelar. Begitu pengakuannya. Kamu
tahu, masih ada tiga kapalnya yang lain yang tengah dikendalikannya.” Ayah
begitu bersemangat menceritakan bualan penipu itu.
”Dia juga minta saya bekerja sama mengendalikan
kapal itu. Dia
mau dua kapalnya dicatat di Puskopal. Dia tahu kalau saya ikut pengurus di
koperasi itu. Dia juga minta saya carikan seorang tekong untuk menyelundup ke
seberang sana. Dia bisa gaji seribu dolar, katanya.” Diam sebentar.
kapal itu. Dia
mau dua kapalnya dicatat di Puskopal. Dia tahu kalau saya ikut pengurus di
koperasi itu. Dia juga minta saya carikan seorang tekong untuk menyelundup ke
seberang sana. Dia bisa gaji seribu dolar, katanya.” Diam sebentar.
“Kontan saja saya minta Andrianto berhenti di
pabrik es milik Hok Bun itu. Kini dia tak kerja sambil menanti tugas baru. Ee….
tahu-tahu begini.”
pabrik es milik Hok Bun itu. Kini dia tak kerja sambil menanti tugas baru. Ee….
tahu-tahu begini.”
“Terus?”
“Hari kelima itu dia bayar sewa kamar dan bon
lainnya
untuk empat hari. Malah saya diberi uang kopi segala. Tentulah saya senang.”
lainnya
untuk empat hari. Malah saya diberi uang kopi segala. Tentulah saya senang.”
“Besoknya dia cerita lagi. Kali ini dia
setengah mati memuji penginapan ini. Katanya nomor kamar yang dihuninya itu
bertuah. Dulu dia katanya pernah menang nomor Si Ji ketika
menginap di sini. Sekarang ini dapat lagi setelah nomor kamar dulu dan yang
sekarang dia sewa digabungkan menjadi nomor pilihannya. Saya lihat langsung,
ketika nomor 1724 keluar. Dia malah dapat dua hadiah yang kalau diuangkan
bisa puluhan juta uang kita. Padahal saya sudah lama ikut main tak pernah
sekalipun kena. Saya benar-benar kagum pada orang itu.”
setengah mati memuji penginapan ini. Katanya nomor kamar yang dihuninya itu
bertuah. Dulu dia katanya pernah menang nomor Si Ji ketika
menginap di sini. Sekarang ini dapat lagi setelah nomor kamar dulu dan yang
sekarang dia sewa digabungkan menjadi nomor pilihannya. Saya lihat langsung,
ketika nomor 1724 keluar. Dia malah dapat dua hadiah yang kalau diuangkan
bisa puluhan juta uang kita. Padahal saya sudah lama ikut main tak pernah
sekalipun kena. Saya benar-benar kagum pada orang itu.”
Saya membiarkan ayah bercerita sepuasnya.
Saya hanya mendengar.
Saya hanya mendengar.
“Waktu dia menceritakan Si Ji yang
menang itulah dia menyampaikan hasratnya minta tolong. Katanya dia baru dapat
Orari*, kapalnya tertangkap. Perlu ditebus dua juta. Inilah awal celaka itu.
Kata A Siong dia kebetulan tinggal uang sejuta tiga ratus yang semula hanya
untuk uang dingin saja. Si Ji itu katanya baru bisa diuangkan
dua hari lagi. Itu pun harus ke Tanjungpinang. Sementara batas tebusan
kapal itu sudah mendesak. Dia bilang, kalau saya kurang percaya, peganglah
nomor Si Ji itu. Saya, karena begitu yakin maka tak pikir
panjang lagi mengeluarkan uang simpanan itu. Dia pun janji, dalam waktu tiga
hari, uang saya akan kembali utuh plus satu juta sebagai imbalan jasa.
Ternyata… ah, dia benar-benar penipu ulung.”
menang itulah dia menyampaikan hasratnya minta tolong. Katanya dia baru dapat
Orari*, kapalnya tertangkap. Perlu ditebus dua juta. Inilah awal celaka itu.
Kata A Siong dia kebetulan tinggal uang sejuta tiga ratus yang semula hanya
untuk uang dingin saja. Si Ji itu katanya baru bisa diuangkan
dua hari lagi. Itu pun harus ke Tanjungpinang. Sementara batas tebusan
kapal itu sudah mendesak. Dia bilang, kalau saya kurang percaya, peganglah
nomor Si Ji itu. Saya, karena begitu yakin maka tak pikir
panjang lagi mengeluarkan uang simpanan itu. Dia pun janji, dalam waktu tiga
hari, uang saya akan kembali utuh plus satu juta sebagai imbalan jasa.
Ternyata… ah, dia benar-benar penipu ulung.”
“Sampai hari ini, sudah empat hari janjinya
itu berlalu. Barulah saya sadar bahwa saya telah tertipu begitu saja. Kamarnya
yang katanya masih ada tas di dalam ketika saya buka paksa memang ada tas president
kosong, tapi tak ada apa-apa di dalamnya. Hanya ada dua helai kemeja lusuh.”
itu berlalu. Barulah saya sadar bahwa saya telah tertipu begitu saja. Kamarnya
yang katanya masih ada tas di dalam ketika saya buka paksa memang ada tas president
kosong, tapi tak ada apa-apa di dalamnya. Hanya ada dua helai kemeja lusuh.”
“Tentang kapalnya yang katanya rusak itu, apa
ayah tidak nanya?”
ayah tidak nanya?”
“Itulah gobloknya. Mungkin saya kena kong dia.
Setelah saya sadar tertipu, baru saya tanya kepada orang-orang yang tinggal di
pulau itu. Ternyata ceritanya omong kosong saja”
Setelah saya sadar tertipu, baru saya tanya kepada orang-orang yang tinggal di
pulau itu. Ternyata ceritanya omong kosong saja”
Ayah tampak begitu letih setelah menceritakan
kembali peristiwa yang katanya begitu memukul jiwanya.
kembali peristiwa yang katanya begitu memukul jiwanya.
“Saya sadar sekarang. Tuhan
mungkin telah marah dan murka kepada saya. Setua begini, saya masih
sibuk dengan kartu putih itu. Juga penginapan ini. Mungkin membuat saya lalai.
Mana ke mesjid saya juga tidak pernah sempat karena mengurusnya.” Air mata ayah
semakin deras mengalir. ”Padahal pagar masjid itu adalah pagar penginapan ini
juga. Begitu dekat di mata tapi terasa jauh di hati.” ayah melanjutkan suaranya
yang terbata-bata. Suara yang tidak terdengar egois lagi.
mungkin telah marah dan murka kepada saya. Setua begini, saya masih
sibuk dengan kartu putih itu. Juga penginapan ini. Mungkin membuat saya lalai.
Mana ke mesjid saya juga tidak pernah sempat karena mengurusnya.” Air mata ayah
semakin deras mengalir. ”Padahal pagar masjid itu adalah pagar penginapan ini
juga. Begitu dekat di mata tapi terasa jauh di hati.” ayah melanjutkan suaranya
yang terbata-bata. Suara yang tidak terdengar egois lagi.
Saya terkejut. Ternyata karang itu tak
sekeras dulu lagi. Saya sangat terharu mendengar pengakuan ayah. Saya juga
serasa hanyut oleh air matanya. Tanpa saya sadari, air mata saya pun berderai
satu-satu. Peristiwa yang tidak pernah terjadi dalam hidup saya. Ayah selalu
berpesan untuk tidak cengeng. Jangan pernah menangisi dan menyesali hidup.
sekeras dulu lagi. Saya sangat terharu mendengar pengakuan ayah. Saya juga
serasa hanyut oleh air matanya. Tanpa saya sadari, air mata saya pun berderai
satu-satu. Peristiwa yang tidak pernah terjadi dalam hidup saya. Ayah selalu
berpesan untuk tidak cengeng. Jangan pernah menangisi dan menyesali hidup.
Tuhan, terima kasih. Engkau telah beri
hidayah itu kepada ayahku. Itu saya ucapkan dalam hati saya saja. Ayah harus
mau menangisi dan menyesali hidup, jerit saya tetap di hati.
hidayah itu kepada ayahku. Itu saya ucapkan dalam hati saya saja. Ayah harus
mau menangisi dan menyesali hidup, jerit saya tetap di hati.
Lama kami saling terpana. Terdiam
dalam jalinan pikiran sendiri-sendiri. Cermin penyesalan tampak jelas memantul
dari muka ayah. Juga wajah kesedihan. Saya yakin, ayah pasti sedang menangisi
dan menyesali sebahagian hidupnya.
dalam jalinan pikiran sendiri-sendiri. Cermin penyesalan tampak jelas memantul
dari muka ayah. Juga wajah kesedihan. Saya yakin, ayah pasti sedang menangisi
dan menyesali sebahagian hidupnya.
Ruangan itu kian sepi. Ayah diam. Saya juga
tidak bersuara.
tidak bersuara.
“Saya akan kembali…,” tiba-tiba ayah
memecah kesunyian. Kalimat ayah tidak selesai. Ayah menutup mukanya dengan
kedua tangan bak gadis belia sedang merajuk. Saya benar-benar nelangsa dan
bingung campur haru menyaksikannya.
memecah kesunyian. Kalimat ayah tidak selesai. Ayah menutup mukanya dengan
kedua tangan bak gadis belia sedang merajuk. Saya benar-benar nelangsa dan
bingung campur haru menyaksikannya.
Sedetik kemudian ayah terjatuh ke lantai.
Saya terkejut dan panik. Saya berusaha menjernihkan pikiran yang kacau dan
kalut.
Saya terkejut dan panik. Saya berusaha menjernihkan pikiran yang kacau dan
kalut.
Saya sesungguhnya sudah berusaha meraih ayah
yang roboh tapi terlambat. Dia tergolek di lantai dengan mulut sedikit berbuih
dan mata tak berkedip. Saya coba panggil-panggil dan menggoncang badannya. Ayah
tidak bergerak dan tidak juga mengedipkan matanya. Saya hanya sekali
mendengarnya mengaduh dengan lenguhan bak kesakitan. Sesudah itu diam.
yang roboh tapi terlambat. Dia tergolek di lantai dengan mulut sedikit berbuih
dan mata tak berkedip. Saya coba panggil-panggil dan menggoncang badannya. Ayah
tidak bergerak dan tidak juga mengedipkan matanya. Saya hanya sekali
mendengarnya mengaduh dengan lenguhan bak kesakitan. Sesudah itu diam.
Saya tak menduga, kalimat tadi adalah kalimat
terakhir yang ia ucapkan. Saya akan kembali… saya akan kembali… kalimat
terakhir itu memenuhi telinga saya. Setelah pingsan sejenak, dia benar-benar
pergi untuk selamanya tanpa satu katapun pesannya berkenaan dengan penginapan
ini.
terakhir yang ia ucapkan. Saya akan kembali… saya akan kembali… kalimat
terakhir itu memenuhi telinga saya. Setelah pingsan sejenak, dia benar-benar
pergi untuk selamanya tanpa satu katapun pesannya berkenaan dengan penginapan
ini.
Saya memekik sambil minta tolong. Ayah
mungkin akan menuju ke penginapan baru yang abadi. Galau hati saya. Saya
mencoba untuk setenang mungkin. Selamat jalan, selamat sampai di
penginapan baru, Ayah. ***
mungkin akan menuju ke penginapan baru yang abadi. Galau hati saya. Saya
mencoba untuk setenang mungkin. Selamat jalan, selamat sampai di
penginapan baru, Ayah. ***
* radio panggil
Mor-Tbk, 94-07