Galeri,1 012
7 Views

KETIKA Kepala Sekolah diminta Pemerintah –melalui Dinas Pendidikan– agar seluruh siswa di sekolah dinaikkelaskan atau diluluskan dalam ujian akhir, maka Kepala Sekolah tidak ada pilihan lain kecuali menyampaikan itu kepada guru-gurunya. Tidak ada lagi siswa yang gagal naik kelas atau gagal lulus di akhir pembelajaran sekolah. Itulah inti permintaannya.

Permintaan Pemerintah itu pada hakikatnya tidak berlebihan. Sekolah hadir untuk mengajar, mendidik dan membimbing peserta didik atau murid-murid agar berhasil, itu adalah permintaan yang benar. Persoalan muncul adalah ketika di lapangan ternyata ada satu-dua orang murid yang tidak atau belum bisa menyelesaikan pembelajaran yang ditentukan sesuai waktu. Dan sekolah mengartikan siswa begini juga harus ‘berhasil’.

Bagi sekolah-sekolah yang mengartikan bahwa keberhasilan murid atau siswa, itu adalah karena mampu menyelesaikan pembelajaran sesuai ketentuan maka ukuran itu tetap dipakai dengan objektif. Artinya, jika ternyata ada siswa yang tidak/ belum mampu menyelesaikan pembelajarannya sesuai waktu padahal proses pembelajaran sudah berjalan dengan baik dan benar maka sekolah ini akan melanjutkan pembelajaran pada waktu berikutnya. Dengan kata lain, tidak harus naik ke kelas atasnya pada waktu itu. Bisa ditunda dulu naik kelas atau lulusnya.

Tapi bagi sekolah yang keliru mengartikan permintaan ‘siswa harus berhasil’ itu maka dengan berbagai cara sekolah akan memaksakan untuk naik kelas atau lulus. Termasuk dengan merekayasa nilai-nilai yang diraih siswa. Nah, di sinilah dilemanya guru. Guru sesungguhnya tahu persis ada siswa yang sudah berhasil sesuai waktunya tapi ada juga yang belum berhasil.

Sikap guru yang benar tentu saja melanjutkan mengajar dan atau membimbing siswa ini di waktu berikutnya. Para siswa yang sudah berhasil, ya bisa dinaikkan atau diluluskan. Tapi yang belum berhasil mencapai target atau standar yang ditentukan biarlah dilanjutkan mengajarnya di waktu berikutnya. Itu berarti tidak wajib naik atau lulus pada waktu yang sama. Bahwa akhirnya akan terpisah dengan teman-teman sekelasnya, itulah konsekuensi logi yang harus diterima oleh semua pihak.

Sebaliknya jika dipaksakan sama waktu berhasilnya sementara faktanya sebagian siswa tidak sama hasil capainnya maka para guru akan menghadapi keadaan yang tidak sesuai dengan pikirannya. Apalagi jika kebijakan sekolah juga memaksakan makna berhasil itu harus pada waktu yang sama, guru juga yanag menerima masalahnya. Guru terjebak diantara sikap objektif dan integritas sebagai guru dengan sikap subjektif mengikuti arahan yang sesungguhnya keliru.

Inilah keadaan dilematis guru. Jika sikap sekolah secara objektif mengartikan berhasil itu bisa tidak sama diantara siswa, maka guru tidak perlu merekayasa nilai untuk dinyatakan naik atau lulus pada waktu yang sama dengan siswa yang memang sudah dinilai berhasil. Tapi jika sekolah mengartikan ‘berhasil’ adalah tetap naik atau lulus pada waktu yang sama untk seluruh siswa apapun caranya, maka guru akan bersikap tidak objektif lagi. Terjadilah kecurangan itu. Inikah yang diinginkan Pemerintah?

1 thought on “Bagaimana Sebaiknya Sikap Guru

  1. Indahnya pendidikan zaman dulu, keberhasilan guru tidak disalah artikan. KKTP menjadi patokkan. Dan banyak hal yang menjadi pemikiran dalam penilaian yang seharusnya objektif menjadi subjektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *