16 Views

DARI seribu-satu pengalaman saya menjadi bagian dari buku hebat,
antologi pantun, 
Kumpulan Pantun Mutiara Budaya Indonesia yang
digagas oleh Pimpinan Perruas (Perkumpulan Rumah Seni Asnur), Bang Asrizal Nur
alias Asnur, salah satunya adalah ketika di awal saya berkenalan lewat WA
dengan belyau saya disapanya dengan Ibu. Saya. sebagai seorang lelaki tulen,
beristeri dan beranak-cucu, oleh Bang Asnur saya disapanya dengan sapaan Bu,
siang itu. Maksudnya, sapaan Ibu. Asyik, kan? Lucu juga, haha. 

Alkisah, bermula ketika saya dimasukkan oleh teman ke Grup WA
PERRUAS KEPRI. Saya lupa yang memasukkannya. Tapi saya ingat, itu kawan dari
grup MediaGuru yang kebetulan juga bersama-sama di salah satu grup. Awalnya
saya tidak merespon apapun kehadiran nama saya di situ. Saya tidak menyatakan
keberatan tapi juga belum menyapa teman-teman di dalam grup sebagai tanda saya
setuju. Hingga alkhirnya saya mengetahui bahwa grup itu tengah mengelola
penulis pantun 1000 Guru Asean. Dan akan mengelola penulis pantun mutiara untuk
penulis pantun se-Indonesia. Info yang inilah yang akhirnya memikat hati saya
untuk merespon kehadiran nama saya di Grup Perkumpulan Rumah Seni Asnur (Perruas)
Kepri itu. Dan saya berminat untuk ikut menulis pantun yang akan dilaksanakan
Perruas. 

Singkat kisah, saya mencari nomor orang ‘tertinggi’ di Perruas.
Saya beranikan chatting dengan belyau yang memang dialah yang bertanggung jawab
dalam kegiatan rencana menulis pantun mutiara budaya ini. Saya tahu beberapa
orang teman saya sudah duluan masuk menjadi peserta penulis pantun. Saya juga
suka pantun. Saya kirim WA ke Bang Asnur. 

“Assalamu’alaikum ww,  Saya, M. Rasyid
Nur ingin ikut belajar pantun, itu dan ingin masuk grup tsb. Bagaimana caranya?
Terima kasih. Nak ikut grup pantun…
” kata saya dalam chatting itu.

Pengiriman pesan Itu trcatat di pagi hari sekitar pukul 08.40,
Sabtu, 11 Juli 2020. Saya menunggu jawaban. Tentu saja saya tak sabar ingin
segera mendapat jawaban dari Bang Asnur. Karena hari Sabtu itu waktu di rumah
lebih banyak, saya banyak waktu untuk internetan. Sebentar-sebentar saya buka
dan melihat WA, apakah sudah ada jawaban dari Bang Asnur. Ternyata siangnya,
sekitar pukul setengah dua, persisnya pukul 13.44 (di catatan chatting saya)
jawaban Bang Asnur ke WA saya masuk. Alhamdulillah, kata saya dalam hati. Saya
baca,

“Walaikumsalam, darimana Bu?

Ha? Saya disapa Ibu? Apakah dia terpengaruh nama belakang saya,
Nur itu? Atau karena foto profil saya, seingat saya masih foto berdua ‘kekasih’
saya itu? Entahlah. Yang seperti ini memang sudah lazim kalau berkenalan awal
di dunia maya. Di FB, saya juga sering disapa dengan ibu oleh teman baru, haha
terima sajalah. Dan saya menjawab WA Bang Asnur.

“Hehe, Pak Asrizal juga ternyata orang yang
sedikit bingung dengan nama saya. Atau karena foto profil saya?”
Begitu kata saya membalas kembali chattingnya.

“Saya lelaki asli, Pak heh. Pak Rsyid, kalau mau
panggil pak. Atau enaknya Bung Rasyid. Saya temannya Fahrunnas atau Saiful Pandu
di Pekanbaru. Tapi saya bermastautin di Karimun, Kapri. Salam takzim, Pak
Asrizal.”
Tambah saya. Saya
bawa-bawa nama teman-teman penulis di Pekanbaru yang dulu kebetulan satu
angkatan saat kuliah di Universitas Riau. Saya ingat-ingat Bang Asnur pernah
saya dengar nama itu, tapi entahlah. Kan sudah lama.

“Oh ok pak,” jawab chatting Bang Asnur waktu itu. Saya tak tahu, apakah merasa
geli dan lucu dengan kejadian itu, atau biasa-biasa saja, entahlah. Tapi,
inilah pengalaman unik pertama saya memulai ikut bergabung di grup penulis
pantun mutiara budaya.

“Pak Rashid tau darimana kegiatan ni?” Tanyanya lagi. Kini dia sudah menyapa saya
dengan sapaan, Pak. “Kita sedang
merencanakan buat buku kumpulan pantun budaya lengkap dengan video pantun, buku
digarap ekslufif full collor, pantun ab ab rima awal dan rima akhir, sampiran
mengangkat ptotensi kebudayaan, isi pesan2 kebudayaan bak kata mutiara, dalam
rangka itu kita belajar bersama2 untuk menyesuaikan konsep pantunnya.”

Semangat saya langsung naik membaca balasan berupa penjelasan
cukup panjang ini. Terbayang oleh saya, nantinya aka nada nama saya di buku
ekslusif itu. Weh, sungguh kesempatan terbaik saya sebagai seorang yang memang
suka menulis sejak lama, kata saya dalam hati. Saya katakan bahwa saya akan
ikut.

Mulailah proses pembelajaran membuat pantun secara online bersama
Bang Asnur. Setelah saya menulis enam bait pantun dalam waktu yang lumayan lama
malam itu, saya kirimkan di WA. Saya merasa sudah akan lolos karena menurut
pengetahun saya sebagai jebolan Universitas Riau (Unri, kini UR) Jurusan Bahasa
dan Seni FKIP sekaligus sebagai guru (Bahasa Indonesia) pantun-pantun saya itu
sudah memenuhi syarat. Bang Asnur memang mengatakan “Semuanya sudah ok, tinggal Rima awalnya, revisi ya jadi ab ab juga.”
Padahal pantun ini sudah saya ervisi beberapa kali sebelum dikirimkan.

Justeru saya kian penasaran. Ternyata saya harus memahami beberapa
saran Bang Asnur ini. Dan itu adalah ilmu dan pengalaman baru saya. Saya ulang,
lalu kirimkan. Saya ulang dan saya kirimkan lagi. Saya lupa berapa kali saya
saling chatting denganya untuk menuntaskan enam bait pantun yang dijanjikan akan
masuk ke buku antologi pantun yang penulisnya se-Indonesia. Sungguh sebuah
kebanggaaan saya. Seumur saya, apakah saya mesti tetap bersemangat seperti yang
muda-muda? Saya justeru terpicu dan terpacu juga untuk bersemangat. Saya ingin
pantun saya betul-betul seperti yang diarahkan oleh Master Pantun, Bang Asrizal
Nur ini.

Semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Di sini saya ingin
mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Bangs Asnur dan semua
peserta yang sesungguhnya menjadi penyemangat saya untuk berada di sini. Terima
kasih ini, lebih-lebih karena Tim Bang Asnur memberikan satu penghargaan yang
justeri saya anggap sebagai ‘utang berat’ bagi saya, ketika saya diberikan
apresiasi, penghargaan sebagai Penulis Pantun Terbaik I, di malam anugerah dan
peluncuran buku di Hotel View, Batam, 27 Dewember 2020 lalu itu.

Banyak sekali pesan dan pengalaman yang saya dapatkan selama
belajar menulis pantun ini. Meskipun saya merasa sudah terbiasa menulis pantun
yang kita kenal secara umum selama ini, ternyata belajar menulis pantun di sini
ada banyak lagi yang saya dapatkan. Karena pantun sebagai puisi terikat memang
diikat oleh beberapa ketentuan. Sebutlah jumlah suku kata dalam tiap baris yang
ditentukan antara 8-12 suku kata; diikat pula oleh keharusan bunyi (rima) ab-ab
yang tidak hanya di akhir tapi juga di awal, ini tentu tidaklah mudah. 

Jika sekadar bersajak ab-ab di akhir saja, walaupun juga tidak
mudah tetap saja akan lebih mudah dari pada menyusun bunyi rima awal dan akhir
itu sekaligus. Apalgi isi dan sampirannya harus pula terkait kebudayaan dan
tradisi daerah setempat di mana kita bermastautin. Dan ketentuan ini, walaupun
bukan syarat dan ikatan sebuah pantun, namun disarankan oleh Bang Asnur karena
pantun yang akan dubukukan ini adalah pantun bernilai budaya. Dengan itu pula
pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat diibaratkan sebagai satu kata
mutiara yang penuh makna. Itulah pantun mutiara budaya Indonesia.

Saya  ingat chat Bang Asnur malam itu, “Kebudayaan daerah dikenalkan di sampiran,
isi pesan-pesan kebudayaan secara umum. Bagaimana akibatnya kalau Bangsa ini
tak berbudaya, apa manfaat budaya bagi negeri dst.”
Saya benar-benar
tergugah oleh kalimatnya ini. Dan saya semakin serius menyiapkan pantun saya
hingga benar-benar dianggap layak dimuat di buku berjudul Kumpulan
Pantun Mutiara Budaya Indonesia
 yang dicetak luks itu. Jujur saja,
beberapa kali koreksi dari Bang Asnur untuk satu bait pantun membuat semangat
dan keyakinan saya serasa hampir mencair bagaikan batu es yang terkena sinar
panas. Tapi karena sinar panas itu adalah pesan dan pelajaran berharga bagi
saya, maka saya mempertahankan semangat dan keyakinan saya itu untuk tetap
mengeras. Saya bertahan untuk tetap ikut.

Ketika akhirnya enam bait pantun saya dinyatakan telah lolos
begitu bangga dan puasnya rasa hati saya. Saya ulang baca pengumuman yang
sebelumnya dikirimkan tentang ‘Langkah-langkah
Kegiatan Paket Pantun Mutiara Budaya Indonesia
‘ yang berisi lima poin
ketentuan itu. Salah satunya (point 5) tentang kontribusi setiap peserta
sebesar Rp 600.000 (enam ratus ribu rupiah) itu. Saya pastikan di hati saya
bahwa saya siap untuk berkontribusi. Itulah keputusan akhir yang meneruskan
langkah saya bersama dengan para pemantun hebat dari seluruh Indonesia.

Catatan lain yang juga menjadi pernak-pernik menarik buat saya
adalah ketika prosesi membuat video pantun budaya yang merupakan rangkaian
kegiatan ini. Semua peserta diminta mengirimkan video dan suara saat membacakan
pantunnya sendiri. Video dan suara ini juga dimintalengkapi dengan foto atau
video lain yang akan mendukung video pembacaan pantun kita. Ternyata tidaklah
mudah bagi saya melewati proses ini. Tidak lebih mudah juga dari pada membuat
pantunnya. Beberapa kali saya harus mengulangi pengambilan gambar dan video
itu. Saya tidak tahu, seperti apa perasaan orang yang saya minta membantu saya
mengambil gambar dan videonya. Sungguh pekerjaan yang tidak mudah ternyata.

Alhamdulillah, di tangan tim Perruas ternyata semua kesulitan itu
dapat berjalan dengan baik penyelesaiannya. Sebagainana kita sudah lihat di
chanel you tobe Rumah Seni Asnur, betapa bangganya kita menyaksikan diri kita
dan teman-teman kita bergaya membaca pantun. Kerja berat ini sungguh tidaklah
mudah. Jika di akhir-akhir menjelang peluncuran buku dan anugerah pantun di
Batam, itu kita mendapat berita sakitnya Bang Asnur, tentu saja itu adalah
bukti betapa kerja berat ini memakan korban juga bagi penggagasnya. Syukurnya,
Bos Perruas sebagai penanggung jawab utama berhasil menjadikan helat ini
menajdi begitu spaktakuler pada malam peluncuran dan anugerah itu. Semua
kegiatan akhirnya dapat berjalan dengan baik bersama kehadirannya sendiri
setelah sehat kembali.

Kehadiran para petinggi Kota Batam seperti Wali Kota,
Wakil Wali Kota, Sekdako, Ketua LAM Batam yang juga anggota DPRI Dapil Batam
serta beberapa pejabat Batam sebagai tuan rumah bersama pemantun se_Indonesia
membuktikan betapa acara malam itu mendapat apresiasi tinggi dari orang-orang
penting negeri ini. Bersama mereka di Batam dalam acara meriah malam itu adalah
anugerah tersendiri bagi semua pemantun yang dapat hadir malam itu. Adakah lagi
acara yang sama di hari nanti?***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *