Oleh H. Zubad Akhadi Muttaqien
IMAM Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menuliskan bahwa pada suatu hari datanglah seorang yang telah kehilangan semangat datang kepada seorang hakim. Lantas dia menanyakan tentang mengapa ada seorang yang bodoh tetapi mendapat rezeki yang layak. Sedangkan, di sisi lain, ada seorang yang mempunyai otak cemerlang tetapi tidak mendapat rezeki yang layak.
Mendengar pertanyaan itu, sang hakim menjawab sebagai berikut, “Jika setiap orang yang mempunyai otak cemerlang mendapat rezeki yang layak, dan setiap orang yang bodoh tidak mendapat rezeki yang layak, maka akan timbul sebuah asumsi bahwa seorang yang mempunyai otak cemerlang dapat memberikan rezeki kepada temannya. Akibatnya, setelah orang lain tahu dan berpandangan bahwa yang dapat memberi rezeki itu adalah temannya sendiri, maka tidak ada artinya usaha yang mereka lakukan untuk mendapat rezeki tersebut.”
Sesungguhnya semua rezeki yang ada itu berasal dari Allah karena Allah adalah Maha Pemberi Rezeki. Tidak ada keraguan dengan masalah ini. Karena agama mengajarkan, bahwa hanya Allah yang dapat memberikan rezeki kepada makhluk-Nya.
Allah memberikan rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Hal itu dapat kita baca pada Firman Allah, “Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkan (bagi siapa yang Dia kehendaki).” (QS Ar-Ra’d [13]: 26).
Rezeki merupakan salah satu rahasia Allah dari tiga rahasia lainnya, yaitu umur, jodoh, dan kematian. Hanya Allah yang tahu berrapa umur seseorang, Allah pula yang tahu siapa jodohnya dan kapan kematiannya akan tiba. Begitu juga halnya rezeki. Hanya yang tahu berapa rezeki kita sampai kepada jumlah atau besarannya. Ia tidak dapat dikalkulasi dengan nalar manusia.
Allah juga yang menjamin rezeki setiap makhluk-Nya. Setiap manusia yang terlahir ke dunia sudah dilengkapi dengan rezeki masing-masing. Oleh karena itu, selayaknyalah kita tidak perlu cemas mengenai rezeki. Persoalan rezeki memang telah diatur oleh Allah SWT.
Ada Empat Tingkatan Cara Allah Memberi Rezeki.
Pertama, Rezeki yang dijamin oleh Allah. Dapat kita baca dari firman-Nya, “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di atas bumi ini melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya,” (QS Hud [11]: 6). Itu bermakna bahwa Allah akan memberi kesehatan, makan, dan minum untuk seluruh makhluk hidup di dunia ini. Ini disebut juga dengan istilah rezeki dasar yang terendah.
Kedua, Rezeki dengan ikhtiar. Artinya, seseorang itu mendapat rezeki atas apa yang diusahakan seperti ditegaskan Allah, “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya,”(QS An-Najm [53]: 39). Dengan ayat itu kita memahami bahwa Allah akan memberi rezeki sesuai dengan apa yang dikerjakan hamba -Nya. Jika kerja lebih lama, lebih rajin, lebih berilmu, lebih sungguh-sungguh, ia akan mendapat rezeki yang lebih juga. Tidak pandang dia itu muslim atau kafir.
Ketiga, Rezeki karena bersyukur. Kita firman Allah, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangatlah berat.” (QS. Ibrahim:7). Dikatakan pula, Iinilah rezeki yang disayang Allah.
Keempat, Rezeki karena Iman dan Takwa. Firman Allah dalam alquran, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah baginya akan diberikan jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. (QS ath-Thalaq [65]: 2-3).
Hal penting yang perlu dilakukan sebagai manusia yang diberi akal budi, kita tetaplah harus berikhtiar, berusaha dan bertakwa kepada-Nya untuk mendapat rezeki itu.
Terlepas nanti apakah rezeki kita banyak atau tidak, itu dikembalikan kepada Allah. Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba karena di dalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil. Haruslah kita yakin bahwa ikhtiar itu bukan penyebab datangnya rezeki, tapi rezeki itu datangnya dari Allah.
Tentu saja, untuk mendapat rezeki, maka berusaha dan menjemput rezeki itu juga penting. Semoga Allah senantiasa memberkahi usaha kita. Selamat menjemput rezeki, semoga berkah.***
*Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin