SEORANG Caleg (Calon Legislatif), teman saya, sebutlah namanya Mr X begitu yakin suaranya akan mencukupi untuk satu kursi di Dapil (Daerah Pilihan) yang dia ikuti. Kalaupun kurang-kurang sedikit, dia juga yakin kalau suaranya akan lebih tinggi dari pada teman-temannya satu partai dalam satu Dapil. Artinya jatah kursinya pasti untuk dia. Setidak-tidaknya begitulah obrolannya bersemangat dengan saya. Sebagai orang yang pernah ikut sebagai Caleg pada Pemilu 2019 lalu, saya jadi tahu seluk-beluk dan suka-duka ‘berharap’ menjadi anggota dewan itu.
Untuk pernyataan teman saya, ini alasannya sederhana. Sebagai seorang tokoh di daerahnya, dia merasa cukup terkenal di kecamatan tempat tinggalnya. Apalagi di kelurahan. Dia sangat yakin. Pernah dan selalu dekat dengan RT juga RW di kelurahannya. Tokoh agama aktif di masjid. Ditambah beberapa orang yang tinggal di kelurahan atau kecamatan sebelah yang juga mengenalnya, dia sangat yakin suara orang itu akan diberikan kepadanya. Bahkan dia yakin dalam satu kabupaten dia sudah dikenal.
Selama kampanye, dia rajin berkumpul-kumpul dengan banyak orang di Dapilnya. Dari awal mendaftar, dia sudah menyatakan tidak akan menggunakan uang untuk membeli suara. Sebagai seorang yang memahami agama, dia selalu menjelaskan kepada masyarakatnya bahwa memberi uang untuk mendapat suara itu artinya raswah. Sogokan. Pasti berdosa. Untuk sikap ini saya setuju meskipun justeru di situ masalahnya masyarakat kita.
Tidak jarang teman saya ini membawa-bawa makna satu hadits, orang yang menyogok dan yang menerima sogok, itu tempatnya di neraka. Maka dia sepakat dengan timnya untuk tidak memberi uang sepersen pun kepada calon pemilihnya. Menurut para pemilihnya, kabarnya ok ok saja. Mereka akan memilih Mr X karena tokoh di daerahnya. Yang penting dan berjanji, kalau sudah jadi anggota dewan nantinya, maka uang gaji dan lainnya akan diberikan sebagian sebagai kompensasi selama menjadi tim pemenangan. Intinya, jangan lupa pemberi suara setelah duduk di Gedung Dewan nantinya.
Pencoblosan pun tiba, 14 Februari 2024 lalu. Sesungguhnya, beberapa pekan selama masa kampanye, teman ini sangat yakin suaranya akan meledak di beberapa TPS di kecamatannya dan kecamatan sebelah yang masih satu Dapil. Ternyata oh ternyata, setelah Pemilu usai, penghitungan suara pun selesai, suaranya tidak mencerminkan apa yang selama ini dia bayangkan. Justeru suara di TPS dekat rumahnya serta beberapa TPS yang dia bayangkan akan memilihnya, ternyata justeru suara orang lain. Suara partai lain yang dia kenal juga orangnya.
Kini, teman ini tahu kalau orang yang menang di TPS-nya itu adalah orang yang sama lima tahun lalu yang terkenal royal membeli suara. Setiap satu suara konon dia sanggup memberi ‘ampelop’ sebesar 300-500 ribu. Itu lima tahun lalu. Tahun ini menurut informasi yang simpang-siur besarannya malah lebih lagi karena kabarnya disatupaketkan dengan anggota dewan kabupaten, provinsi dan pusa dalam satu partai.
Teman saya ini pasti bertanya di hatinya, apakah suara masyarakat saya juga dibeli pada Pemilu ini? Saya hanya menduga karena saya pernah tahu itu lima tahun lalu. Sahabat saya ini tentu tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Kenyataannya beberapa orang masyarakat memang mengakui kalau suaranya diberikan ke orang tertentu yang memberinya uang. Maka yakinlah kita bahwa transaksi dengan calon
pemberi suara tidak bisa dengan janji-janji saja. Harus dengan rupiah. Masyarakat yang menerima uang ‘ampelop’ itu pasti tidak merasa bersalah memilih siapa saja asal ada balas jasanya. Sungguh memilukan demokrasi kita.***
pemberi suara tidak bisa dengan janji-janji saja. Harus dengan rupiah. Masyarakat yang menerima uang ‘ampelop’ itu pasti tidak merasa bersalah memilih siapa saja asal ada balas jasanya. Sungguh memilukan demokrasi kita.***