Sekali lagi, memang saya yang mengajaknya untuk ngopi kali ini. Jadi, saya akan traktir dia.
Nama sahabat saya ini, Setiono. Disapa dengan Romo
Setiono atau Romo saja, terkadang orang menyapanya. Dia memang guru agama Budha di sekolah dan pendeta juga di Agama Budha Kabupaten Karimun. Tapi sepenuhnya ini adalah untuk terus menjaga tali silaturrahmi diantara kami berdua. Sebagaimana menjaga dan menjalin silaturrahmi dengan orang lainnya, begitu pula kami menjaganya.
Tepat pukul 09.00, Senin (06/11/2023) kami sudah duduk di Kedai Kopi Botan yang topcer kopinya itu. Salah
satu kedai kopi sangat terkenal di Kota Tanjungbalai Karimun ini. Racikan kopinya memang yahut, enak
sekali, kata orang-orang yang gila kopi. Bagi yang kecanduan ‘ngopi’ akan terus datang ke sini untuk melepaskan
candu kopinya. Kami duduk di berhadapan di salah satu meja yang ada empat
kursinya. Masing-masing dua saling berhadapan. Kami mengisi salah satunya Berhadapan.
Romo minta teh panas dengan sarapan nasi gulai telor. Saya minta
tek tarik dengan sarapan mietiau goreng. Sambil menyeruput teh masing-masing
kami mulai membuka obrolan. Diawali tema FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) yang kebtulan kami berdua adalah
pengurus di situ. Romo dari Budha sedangkan saya dari Islam. Kebetulan juga FKUB Kabupaten Karimun akan kedatangan tamu, pengurus FKUB Kabupaten Lingga. Jadi, kami ngobrol tentang rencana teman-teman dari Lingga itu.
Dari tema FKUB ngelantur obrolan kami kemana-mana. Termasuk bicara politik. Kebrtulan saat ini suhu politik baik Nasional maupun Daerah sudah mulai panas. Orang ikut sibuk bicara presdiden, wakil presiden hingga ke gubernur dan bupati/ wali kota. Hampir satu jam kami
duduk di situ. Kami saling menjelaskan calon pilihan masing-masing sesuai info-info yang saat ini beredar di media.
Sesungguhnya inti pertemuan saya dan Romo adalah untuk menjalin silaturrahim sambil ngopi pagi dan
sarapan itu. Silaturrahim tentu saja lebih utama dari sekadar ngopi dan sarapan pagi. Justeru dengan silaturrahim maka rezeki akan dimudahkan. Usia pun Tuhan janjikan akan dilebihkan.
Setelah kami selesai sarapan, ngobrol pun sudah panjang-lebar, minuman dan makanan tuntas disikat, saya pun bersiap untuk membayarnya. Ternyata oh ternyata, minuman dan sarapan kami berdua, itu sudah
dibayar oleh seseorang. Seorang pelayan di kedai itu menjelaskan kepada kami, “Sudah dibayar, Pak.” Kami kaget, terutama saya.
Rupanya yang membayar itu adalah teman Romo itu tadi. Orangnya masih ada di depan kasir. Saya terdiam dan hanya bisa
berterima kasih. Sekali lagi, saya
hanya bisa berterima kasih kepada Romo Setiono. Dalam hati saya, ‘sarapan pagi ini ditarktir orang baik hati. Boleh jadi ini adalah bagian hikmah dari silaturrahmi’. Saya tidak mengucapkan kalimat itu.
Membanggakan. Ya, membanggakan karena ternyata silaturrahim
pagi ini membawa rezeki, ditaraktir sarapan pagi. Setidak-tidaknya bagi saya. Bukankah saya yang tadinya
mengajak Romo untuk ngopi pagi? Tapi melalui Romo pula rezeki saya datang pagi ini. Saya
tidak mengeluarkan uang sepersen pun untuk makan satu piring mietiau goreng dan
satu gelas teh tarek. Romo juga demikian. Kami berterima kasih. Alhamdulillah.***