TIBA-tiba saja saya teringat cerita seorang teman. Dia guru. Artinya sesama guru.
Bedanya, teman itu masih aktif alias masih menjadi guru di sekolah saat ini. Sementara
saya sudah pensiun. Tidak lagi menjadi guru di sekolah seperti kemarin-kemarin
itu. Hanya menjadi guru di luar sekolah. Itupun perasaan saya. Saya tetap menganggap diri saya guru selamanya walaupun bukan guru PNS seperti dulu itu. PNS adalah masa lalu karena ada batas waktu. Kalau guru bisa selamanya.
Cerita teman ini membuat saya ingin merenung diri. Bagus juga merenung
di Jumat berkah dan suci begini, kata saya di hati sambil menulis catatan ini. Apakah ketika kemarin-kemarin sebagai guru (PNS), itu saya melakukan seperti cerita teman ini atau tidak? Rasanya memang tidak, tapi karena
sudah lama berlalu, jangan-jangan ada yang terlupa oleh saya.
Sebagai guru resmi bermula, itu bermula ketika saya diberi SK sebagai guru terhitung tahun 1984. Lalu saya mengajar di kelas, di luar kelas juga menjadi pemimpin sekolah (Kepala Sekolah) sampai pensiun tahun 2017 lalu. Hampir 40 tahun saya menjadi PNS. Sementara sebagai guru
honorer saat kuliah, itu ada empat tahun lamanya. Jadi, lama sekali saya menjadi guru.
Adakah perbuatan seperti cerita teman ini pernah saya lakukan? Tiba-tiba saya ingin merenung. Saya tahu ini adalah dosa, jika pernah saya lakukan.
Hal yang menajdi renungan itu adalah ketika guru ini
berkisah, ramai teman-temannya yang sepertinya tidak melaksanakan tugas dengan
baik dalam arti sering meninggalkan tugas. Dengan berbagai alasan, bukan hanya
terlambat masuk ke kelas dan lebih cepat pulang sebelum waktu dari kelas, tapi benar-benar tidak
masuk gurunya ke dalam kelas sebagaimana tertulis di jadwal pelajaran. Tugas
anak konon hanya dikirimkan lewat pesan WA di grup kelas saja. Tentu saja anak-anak
dirugikan sementara gaji tetap dimakan. Saya juga terbayang, kapan guru seperti ini mengelola kelasnya?
Gurunya sendiri ada di majelis guru dengan alasan melaksanakan
tugas lain. Ada juga yang pergi keluar sana, entah ke rumahnya atau kenana
saja. Pastinya guru tidak ada di kelas itu. Anak-anak diminta belajar sendiri dan nanti ketika waktu jam pelajaran habis tugas mencatat atau apa saja diminta dikumpulkan. Bisa juga tugas itu dikerjakan di rumah. Pesannya juga disampaikan lewat WA. Guru benar-benar merdeka sebagaimana kurikulumnya disebut ‘kurikulum merdeka’ juga. Sedih. Salahkah kurikulum merdekanya? Pasti tidak.
Hanya saya atau gurunya yang harus merenungkannya.
Saya tentu masih ingat, dulu, ya dulu ketika saya menajdi guru, jika guru terlambat datang ke sekolah atau terlambat masuk
kelas untuk mengajar, akan ditanyakan oleh Kepala Sekolah atau melalui guru piket. Kalau
guru sering minta izin dengan seribu alasan apa saja atau alasan masuk akal sekalipun, Kepala Sekolah juga akan
bertanya. Itulah salah satu tugas Kepala Sekolah. Pokoknya tidak enak meninggalkan tugas dengan sengaja. Guru tidak akan pernah nyaman jika sengaja curang dengan tidak melaksanakan tugas mengajar.
Kini, yang itu
tadi, membuat saya sedih. Cerita teman itu, gurunya seperti tidak merasa bersalah walaupun tidak masuk kelas. Hebatnya, nilai siswa wajib tetap sama atau diatas KKM. Guru hanya perlu memberi nilai rapor saja. Tidak mengajar seperti dulu-dulu itu. Maka, termenunglah saya mendengar
cerita guru ini. Katanya hanya beberapa orang saja lagi guru yang benar-benar
masuk kelas sesuai jadwal pelajarannya. Sungguh perlu renungan ini. Karena tanggung jawab ini akan dituntut hingga kelak di hari nanti. Seharusnya menajdi renungan sebelum terlambat..***