Lapar Saat Puasa adalah Lapar yang Mulia

Catatan M. Rasyid Nur

HARI ini kita sudah memasuki
pekan kedua, tepatnya hari ke-8 melaksanakan puasa sejak dimulainya Ramadan
1444 (2023) pada Kamis (23/03/2023) pekan lalu. Semua kita yang dinyatakan ‘sanggup’ atau merasa sanggup dan tidak dalam satu perjalanan yang jauh saat ini kita melaksanakan puasa di
siang hari. Puasa Ramadan, bulan nan suci.

Dari selepas sahur –sejak batas
imsak– kita menahan untuk tidak makan dan tidak minum sampai batas berbuka
sore harinya, itu waktu yang lama. Itu bukanlah waktu yang singkat untuk
menahan rasa lapar. Berkisar antara 12-an jam kalau di negeri kita ini. Lama
sekali, bukan? Jika bukan karena perintah Yang Maha Memerintah, tidaklah akan
sanggup kita lakukan.

Tidak makan dan tidak minum
apapun dalam rentang waktu begitu lama otomatis mendatangkan rasa lapar dan
haus bagi kita. Jika saat itu tiba-tiba terbayang anak-anak jalanan, anak-anak
miskin tak berayah-beribu atau siapa saja yang karena keadaannya tidak bisa
makan dan minum sesuai waktu, maka akan ada rasa hiba kita di kalbu. “Oh,
beginilah rasa yang dirasakan oleh fakir-miskin yang tidak ada makanan dan
minuman bahkan sekadar ikan asin.” Boleh jadi kita akan menghayal begitu.

Jika tiba-tiba perasaan kita ikut
nelangsa kemana-mana memikirkan dan membayangkan mereka yang tidak bisa makan
dan minum itu, sesungguhnya salah satu hikmah puasa bagi orang berada, itu
sudah tercapai. Sesungguhnya merasakan lapar dan haus bagi orang-orang berpunya
bagaikan perasaan lapar dan haus yang dirasakan oleh orang tidak berpunya
adalah hal penting sebagai hikmah puasa itu sendiri.

Tentu saja tidak cukup sampai di
situ. Munculnya rasa hiba, itu diharapkan dapat menimbulkan dan mendatangkan
keinginan kita untuk berbagi makanan dan minuman itu kepada mereka yang tidak
bisa makan dan minum karena tidak adanya makanan dan minuman. Benar, tidak
harus berbentuk makanan dan minuman saja yang dapat diberikan. Bisa pula dalam
bentuk uang yang oleh penerimanya bisa dia belanjakan ke makanan dan atau
minuman yang dia inginkan. Ini juga sudah benar.

Sampai di sini, kita sudah
membuktikan bahwa rezeki yang Allah percayakan kepada kita, itu kita yakini
memang tidak semata hanya hak kita. Sekurang-kurangnya 2,5 persen dari rezeki
itu kita yakinkan diri kita bahwa itu memang hak orang lain yang dititipkan
pada kita. Toh, jumlah seper empat puluh itu bukanlah jumlah yang banyak. Kita
yakinkan diri kita bahwa jumlah itu tidaklah secara siginifikan akan
berpengaruh terhadap jumlah keseluruhan rezeki yang ada pada penguasaan kita.

Inilah hikmah lapar yang diwajibkan
dirasakan oleh semua kita yang di hati kita memang ada imannya. Lapar seperti
inilah yang kita sebut sebagai lapar yang mulia. Lapar yang diharapkan memupuk
rasa empati, rasa kebersamaan, kasih-sayang, toleransi dan tidak rakus dengan
kekayaan sendiri. Indonesia memerlukan terus-menerus memupuk rasa seperti ini.
Mari kita tunjukkan bahwa lapar kita memang mulia di mata-Nya.***

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *