Materi Khutbah Idl Fitri: Hakikat Kembali ke Fitrah*

PERTAMA-tama, marilah kita persembahkan puji dan syukur kita ke hadhirat Allah Swt atas kesempatan kita bisa
berkumpul di tempat ini untuk menunaikan shalat Idul Fitri sembari kita
mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil sebagai pengakuan kita akan
kebesaran-Nya. Idul Fitri adalah hari raya kita, umat Islam yang disebut hari raya
berbuka. Artinya, setelah sebulan penuh kita berpuasa, menahan lapar dan dahaga, kini
tibalah saatnya hari berbuka. Itulah Hari Raya Berbuka.

Shalawat
dan salam kita kirimkan kepada junjungan alam Nabi besar Muhammad Saw, Nabi
yang telah mengajarkan kepada kita pentingnya menunjukkan kepedulian kepada
sesama manusia juga dengan alam di sekeliling kita. Kita berdoa semoga keselamatan dan kesejahteraan tercurah kepada beliau, keluarganya,
sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya, allohumma solli ala sayyidina Muhammad…

Sebagai
muslim, kita perlu dan wajib meyakini bahwa Allah Swt tidaklah akan menciptakan kita kecuali
semata untuk menyembah-Nya. Firman Allah, …. yang artinya, Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku,”
(Az-Dzariyat:
56) sangat jelas menegaskan itu. Oleh sebab itu, jika ada manusia yang menyombongkan diri tidak mau taat
dan tunduk kepada Allah, maka ia telah mengingkari tujuan ia diciptakan. Akibat
dari keingkaran tersebut, ia akan menghuni neraka dalam keadaan dihinakan, na’uzubillahi minzalik

Hadirin,
ketika kita masih berada di alam rahim, sesungguhnya Allah Swt telah meminta dan mengambil perjanjian
kesiapan dari kita sebagai manusia untuk menyembah hanya kepada-Nya sebelum
kita lahir ke muka bumi. Allah menanyai ruh kita tentang kesiapan
mengakui Allah Swt sebagai Tuhannya dengan semua konsekuensinya. Lalu ruh
menjawab dengan tegas bahwa ruh bersaksi tiada ‘Tuhan selain Allah’ yang
berhak diimani dan disembah. 

Sebagaimana firman-Nya, Allah bertanya kepada ruh, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka
menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang lengah terhadap (ketauhidan) ini” (Al-A’raf: 172).
Inilah bukti kesanggupan kita ketika masih berupa ruh.

Dalam
menjaga komitmen kehambaan yang diikrarkan pada alam rahim tersebut, Allah Swt
memerintahkan manusia (setelah lahir), agar menghadapkan wajah kepada agama
yang lurus sebagai fitrah kehambaannya. Kita simak firman Allah sebagai berikut, 
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30)
Jika kita melaksanakan perintah ini, itulah pertanda kita bertahan dengan fitrah kita.

Fitrah
adalah kesucian jiwa yang senantiasa tunduk dan patuh kepada Allah. Namun
keadaan manusia dan lingkungan sekitarnya telah mempengaruhi kita sehingga menodai kesucian
fitrah tersebut. Maka berubahlah ketauhidan menjadi kemusyrikan, keimanan menjadi kekafiran. Padahal kita sudah diberi tahu oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya,

“Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)

Untuk mengembalikan hakikat fitrah itulah sesungguhnya Allah menganugerahkan bulan Ramadhan. Kita diwajibkan berpuasa agar kita berkesempatan menjadi orang bertakwa sebagai implementasi fitrah kita. Jika
di penghujung Ramadhan kita merayakan Idul Fitri, maknanya adalah
kesiapan untuk menjadikan momentum Ramadhan sebagai proses pembersihan diri
dan kesadaran akan urgensi kembali kepada fitrah. 

Hakikat kembali fitrah itu harus dan dapat diwujudkan dalam bentuk 1) mengokohkan ketauhidan, 2) menguatkan komitmen
ubudiyah, dan 3) memelihara karakteristik (akhlak) terpuji kita.

1)     
Mengokohkan Ketauhidan

Ibadah
Ramadhan telah kita sempurnakan kita laksanakan. Mulai dari puasa,
shalat tarawih, tadarus AlQur’an, membayar zakat fitrah, zakat harta, dll
hingga hari terakhir kita tuntaskan dengan melaksanakan shalat Idul fitri. Semuanya
itu kita yakini sebagai bentuk aktualisasi keimanan kita kepada Allah Swt. Bukti ketauhidan yang kita miliki.

Sebagai
hamba, kita menyadari begitu banyak kekurangan yang telah kita lakukan.
Terkadang kita sibuk berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun
bekerja keras dan banting tulang hanya untuk menyenangkan hati orang-orang yang
kita cintai. Suami, misalnya menghabiskan hampir semua waktu siangnya untuk menyenangkan
istrinya hingga berkali-kali ia meninggalkan shalat entah Zhuhur atau Asharnya. Sebaliknya istri menghabiskan hampir semua waktu malamnya untuk menyenangkan suaminya
hingga berkali-kali ketinggalan shalat Maghrib dan Isyanya. Keadaan itu tentu
menjadikan kita seolah lemah keimanannya hingga boleh jadi sampai pada titik
keimanan yang sangat lemah. Jika suasana itu terus berlanjut, kita pasti akan
semakin jauh dari fitrah kita.

Ramadhan
adalah momentum yang sangat efektif untuk mengokohkan keimanan kita dan
mengembalikan kita kepada fitrah. Ramadhan adalah bulan yang disiapkan Allah
untuk mendidik jiwa-jiwa yang menjauhi-Nya untuk kembali kepada-Nya. Mendidik
jiwa-jiwa yang berlumur dosa untuk datang memohon ampunan kepada-Nya. Mendidik
jiwa-jiwa yang lalai ibadahnya untuk bersimpuh bersujud dan mengikhlaskan
pengabdiannya.  Semoga Ramadhan ini mampu kita buktikan sebagai bulan
mengokohkan iman dan ihtisab (mengharap pahala) kita kepada-Nya. Sabda Nabi, 
“Barang
siapa berpuasa dengan iman dan ihtisab (mengharap pahala hanya dari Allah),
akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)

2)     
Menguatkan Komitmen Ubudiyah

Fitrah
kehambaan menuntut setiap muslim untuk membuktikan komitmen ibadahnya. Kita sebagai hamba Allah dituntut tidak hanya bersungguh-sungguh menunaikan semua ibadah-ibadah fardhu,
tapi juga ibadah-ibadah sunnah.  Dalam Ramadan kita sudah buktikan, selain berpuasa solat fardhu kita juga melaksanakan tarwih, tadarus, bersedekah dan amalan sunah lainnya. Itulah yang akan mengantarkan kita ke derajat takwa sebagaimana Allah katakan, 
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).
Agar kita menjadi orang bertakwa. Ini semacam peruntah dari Allah.

Perintah
takwa adalah perintah agama yang harus dilanggengkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita wajib memeliharanya hingga ajal kita tiba. Apabila
seseorang memelihara ibadahnya secara benar dan konsisten, maka akan terangkat
derajat ketaqwaannya, suatu derajat istimewa dan yang paling mulia di sisi Allah. Kata Allah, “Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kalian saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang
yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Jadi, jika kita ingin membuktikan kesungguhan kita untuk kembali kepada fitrah,
salah satu bentuknya adalah dengan membuktikan komitmen ibadah kita. Komitmen ubudiyah. Kita jaga shalat fardhu dan melengkapi dengan
shalat-shalat sunnah. Kita tunaikan puasa wajib dan melengkapinya dengan puasa-puasa
sunnah. Mengeluarkan zakat (jika mampu) dan menyempurnakannya dengan infak dan sedekah. Kita melaksanakan haji dan menyempurnakannya dengan umrah. Inilah komitmen ubudiyah yang perlu kita pertahankan.

Dengan
menjaga komitmen ubudiyah yaitu dengan konsisten beribadah dan menegakkannya secara sempurna, artinya kita mampu kembali kepada kesucian fitrah kita bagaimana diberikan Allah pada saat awal kita diciptakan-Nya.

3)     
Memelihara Akhlak Terpuji

Menjaga
karakteristik atau akhlak kehambaan kita adalah salah cara untuk kembali ke
fitrah. Karakteristik yang dimaksud adalah karakter amanah, jujur, sabar dan
syukur. Dengan akhlak itu kita akan merasakan ketenangan dalam hidup. Tidak
perlu merasa khawatir sebagaimana khawatirnya orang yang suka berkhianat,
karena takut terbongkar pengkhianatan-nya, atau seperti pendusta yang takut
terbongkar kebohongannya. Insyaallah juga akan terhindar dari bahaya
pertengkaran dan perselisihan, karena sifat sabar yang dimiliki. Orang amanah,
jujur, sabar dan syukur adalah orang yang akan disenangi dan dirindukan semua
orang.

Semua
karakter terpuji itu tentu tidak lahir begitu saja, tapi melalui proses
penempaan dan pelatihan. Salah satu sarana pelatihan itu adalah puasa yang kemarin kita laksnakan di bulan Ramadan. Sesungguhnya dengan
berpuasa, seseorang akan terdidik untuk bersifat amanah, karena dalam berpuasa syarat
utamanya adalah amanah. Orang berpuasa akan memelihara amalan puasanya
semata-semata karena Allah Swt. Ia mungkin bisa berbohong kalau ia makan dan
minum secara sembunyi, tapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri yang
sedang terkondisi untuk mendekat kepada Allah Swt.

Selain itu, puasa
juga membentuk karakter sabar. Rasulullah bersabda: “Puasa adalah setengah
dari kesabaran”. Dengan menguatnya sifat sabar akan bisa menjaga diri untuk
tidak terlibat dalam konflik, pertentangan, apalagi permusuhan sekecil apa pun
lingkup dan kadarnya. Dan kalau pun harus terlibat dalam sebuah perbedaan
pendapat, tetap bisa menyikapinya dengan sikap-sikap yang bijaksana. Firman
Allah Swt:

“Dan
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfal: 46)

Maka marilah
kita kokohkan persaudaraan kita sesama muslim di atas rasa cinta lainnya.
Janganlah perbedaan-perbedaan menjadikan kita saling berbantah-bantahan dan
saling membenci. Ingat, sikap itu hanya akan memuaskan setan dan hawa nafsu yang
selalu menyuruh kepada keburukan. Kita juga akan dihinggapi rasa lemah dan
gentar sehingga kita tidak akan pernah menjadi umat yang kuat. Hati kita pun
akan kehilangan karakteristiknya yang terpuji, berganti dengan karakter
pemarah, egois, dan merasa paling benar. Akhlak mulialah yang akan menjaga fitrah kita.

Demikianlah khutbah kita pada hari ini, semoga Allah
memberikan umur yang berkah kepada kita dan memberikan kemampuan untuk bertahan
pada kebenaran. Amin.
***

*Dibawakan pada solat Id 1443 di halaman Masjid Al-Mubarak, Meral, 02.05.2022



Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *