PERNAH mendengar teman-teman kita sesama guru, tersebab sayang dan kasihan kepada anak-didiknya maka dalam ujian dibantunya. Bahasanya membantu anak. Tapi caranya dengan menunjukkan jawaban alias membocorkan kunci jawaban soal ujian. Pernah mendengar?
Bersyukurlah jika tidak pernah mendengar. Artinya tidak tahu kalau ada guru yang karena alasan sayang ikhlas membocorkan soal ujian dengan memberikan kunci jawaban atau menunjukkan jawaban soal kepada siswa. Lazimnya dalam ujian akhir seperti Ujian Nasional, misalnya. Dan bersyukur juga jika pernah mendengar tapi tidak pernah melihat langsung seorang guru memberikan jawaban untuk soal-soal ujian. Mungkin sedikit jengkel mendengarnya tapi tidak sampai marah karena tidak melihatnya.
Tapi bagaimana jika kita pernah melihatnya? Bahkan (maaf) kita pernah melakukannya, bagaimana perasaan kita? Tentu saja kalau ‘perasaan’ yang dipakai mengukurnya, maka tu biasa-biasa saja. Sebagai guru kita mungkin merasa sayang, ya perasaan sayang yang ada di hati kita, mungkin membuat kita melakukannya. Melakukan ‘bagai-bagi kunci jawaban’ saat ujian berlangsung.
Dan jika kita melihatnya tapi tidak pernah melakukannya, bahkan benci dengan sikap teman-teman kita yang melakukannya, bagaimana? Bagaimana kita memandangnya? Inilah salah satu perang antara perasaan dengan pikiran yang boleh jadi pernah kita alami sebagai guru. Perasaan mengantarkan kita untuk sedikit longgar atau bertoleransi dalam mengawas ujian atau mengelola pembelajaran. Tapi oleh pikiran boleh jadi menentangnya. Pikiran akan mengatakan itu adalah sebuah pelanggaran. Membocorkan ujian adalah pelanggaran moral bahkan bisa pidana. Biasanya memang akan bertolak belakang antara perasaan dan pikiran.
Kalau boleh bersikap, terlepas dari perasaan sayang kepada siswa, sejatinya membocorkan ujian itu tidaklah baik. Ada banyak cara untuk menolong siswa. Bukan dengan memberikan kunci jawaban dalam ujian. Kalau itu yang dilakukan, namanya bukan menolong, tapi menggulung siswa ke arah keburukan. Bisa berujung kejahatan jika pelanggaran –yang duanggaap kecil– ini dilakukan. Kata peribaha, kecil teranja-anja, besar terbawa-bawa dan sudah tua terubah tiada.’ Pada saat inilah biasanya perbuatan buruk yang tadinya dianggap kecil menjadi besar dan terpeangkap untuk terus melakukannya. Bisa pidana, kan?***