20 Views

GUS Mus atau yang
bernama lengkap KH. Mustafa Bisri membuat pernyataan begini, “Banyak orang
yang semangat untuk berislam tapi lupa terhadap pemilik Islam.”
Kiyai yang banyak menulis puisi, ini mengatakan kalau dewasa ini banyak orang
Islam yang kelihatannya getol dan begitu bersemangatnya berislam tapi
sesungguhnya tidak menceminkan Islam. Lha, kok begitu, Gus?

Gus Mus, penyuka dan
praktisi literasi, yang produk karya tulisnya sangat banyak menyebut istilah
‘berislam’ ini untuk merujuk orang-orang yang kelihatan begitu bersemangat
melaksanakan pernak-pernik Islam tapi bablas menjadi tidak Islami. Saya kutip
dari tulisan berjudul Gus Mus Ingatkan Soal Ngaji: Banyak Orang
Semangat Berislam, Tapi Tak Mengenal Pemilik Islam 
yang dimuat di
situs hajinews.id pada hari Senin (26/09/2021) kemarin banyak
menyebut pernyataan Gus Mus yang mengingatkan orang untuk terlebih dahulu
mengenal pemilik Islam, yaitu Allah sebelum begitu sibuk dengan berislam.

Kata Gus Mus, “Ada
pepatah mengatakan, ‘Kenali dirimu maka kamu akan kenali Tuhan-mu’ maka
hendaklah kita benar-benar mengenal Allah sebagai pemilik Islam sebelum
pernak-pernik Islam ditampilkan,” katanya seperrti ditulis pada halaman
situs itu. Pepatah tersebut, nyatanya memang penting dipegang bagi siapapun
yang beragama Islam. Nyatanya mengenal diri sendiri itu tidak semudah yang
dibayangkan. Kurang-lebih begitu saya memahami pernyataan Gus Mus di artikel itu.

Sejatinya proses
keislaman tidak behenti di tengah jalan. Ingat, kata Gus Mus bahwa terbukti di
luar Islam juga ada banyak ajaran yang sejalan dengan Islam. Bahkan nilai-nilai
Islaminya sangat kentara walaupun itu bukan ajaran Islam. Dia mencontohkan
pewayangan Dewa Ruci yang memiliki enam ajaran kemanusiaan, selaras dengan
perintah-perintah agama, katanya.

Literasi Gus Mus dalam
berislam memberikan beberapa tip agar kita (muslim) berislam itu mencerminkan
pengenalan yang benar kepada Allah. Dalam berislam hal utamaynya adalah
mengenal Allah Swt. Mengenal Allah berarti mengenal ciptaan Allah dan
memperlakukan segala ciptaan Allah sesuai garis yang ditetapkan Allah.
Kasih-sayang dan berlaku adil tidak hanya kepada sesama manusia tapi kepada
semua alam, makhluk Allah lainnya mesti juga diberlakukan.

Tidak lupa Gus Mus
mengingatkan bahwa salah satu cara mengenal Allah adalah dengan mengaji.
Mengikuti pengajian. Dengan mengaji menjadikan seseorang paham akan proses
berilmu untuk meraih rida Allah. Ilmulah yang akan membimbing orang bagaimana
berislam yang baik dan benar. Dengan ilmu tidak akan terjadi orang-orang
berislam tapi kelakuannya tidak Islami, katanya. Ini satu literasi yang penting
bagi semua orang.

Masih menurut Gus Mus,
fenomena banyaknya orang berdakwah, namun tak mencerminkan keislaman, itu
bertentangan dan tak masuk akal. Satu sisi menyenangkan Allah, tapi pada satu
sisi lainnya melaknat hamba Allah yang tak seperti dirinya. Tidak melulu harus
berkaca pada tokoh atau peristiwa yang ada dalam cerita atau kisah Islam.
Katanya lagi, penting pula, melihat tokoh-tokoh lain yang memperlihatkan
keislaman padahal bukan seorang muslim.

Untuk itu Gus Mus
memberikan beberapa pesan, antara lain, Pertama, tidak berbicara atau melakukan
sesuatu sebelum paham dan mengerti tentang hal tersebut. Kata Gus
Mus, “Jangan gegabah menerima sesuatu, dan kemudian mengomentarinya. Lebih
baik diam dari pada membuat orang tersesat karena tidak tahu ilmu mengenai
itu.” Begitu dia menegaskan.

Kedua, Harus bisa
menilai. Bisa membedakan antara emas dan loyang atau harus membedakan sesuatu
yang sama tapi beda makna. “Harus bisa membedakan antara emas dan loyang.
Artinya kita harus ngaji, harus belajar. Kalau tidak belajar, tidak mengaji tentu
tidak akan bisa membedakan besi kuning dengan emas. Mana tembaga mana emas
tidak akan bisa membedakannya, katanya beriktibar. Bagi kita ini satu literasi
yang penting dipahami.

Ketiga, Upayakan tidak
memiliki sifat kaget dan kebingungan. Sebab, lanjutnya sifat tersebut hanya
dimiliki oleh orang yang tak mengaji. Agar terhindar, Gus Mus mengatakan,
seseorang harus ngaji dan memiliki keluasan ilmu.

“Inilah yang menjadi
niatan utama para santri terdahulu belajar di pesantren yakni hanya ingin
mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan. Dan kita tahu kebodohan tidak akan
hilang. Karena begitu anda pandai, anda merasa lebih bodoh dari kemarin. Kalau
anda sudah merasa pandai, di situ anda mulai bodoh,” tutur Gus Mus.

Keempat, Sebagai manusia
harus mampu mengkontrol atau menjaga hawa nafsu. Kata Gus Mus, “Lepas
kendali menyebabkan siapapun bisa kalap dan membuat sesuatu yang bodoh.” Itu
bermakna tidak mampu mengontrol hawa nafsu.

Kelima, Mengamalkan ilmu
yang sudah dimiliki. Kata Gus Mus, ilmu yang mengendap dan tidak diamalkan
bukan ilmu pengetahuan. Kita setuju. Itu malah menjadi beban yang akan
memberatkan. Artinya, ilmu yang tak diamalkan itu akan menjadikan pemilik
ilmunya tidak mendapatkan apapun dari ilmu itu. Bahkan kata Gus Mus, justeru
membuat pemiliknya menajdi sombong.

Keenam, Memiliki
dan melaksanakan ilmu kemanusiaan. Menurut Gus Mus, ilmu kemanusiaan sangat
bisa dan relevan untuk memahami agama. Sayangnya, katanya, manusia di zaman
sekarang banyak yang menjadi instan dalam keseharian. Sungguh tidak baik jika
kita memiliki mental instan karena berakibat tidak mau bersungguh-sungguh dalam
mencari ilmu dan dalam bekerja. Dalam beragama tidak bisa demikian. Wajib
bersungguh-sungguh. Tidak boleh berharap serba instan.

Memahami jalan pikiran
dan pesan-pesan Gus Mus artinya kita telah berliterasi dengan literasi Gus Mus
sebagaimana terurai dalam catatan singkat ini. Bagaimana kita memahami dan
berusaha melaksanakannya, itulah hal penting dari literasi Gus Mus itu.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *