1 Views
HARI Kamis (30/09/2021) ini kembali kita mengingat kejadian buruk 56 tahun lalu itu. Tidak sekadar buruk. Tepatnya kejadian keji dari anak-anak bangsa sendiri yang emosinya tidak terkendali. Di buku kita baca istilah Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) untuk peristiwa memilukan itu.
Meskipun saya waktu itu masih kecil sekali –seumuran anak kelas satu SD– tapi bahang peristiwa Jakarta waktu itu seolah terasa juga di kampung saya. Saya hidup di Kampung Kabun Desa Airtiris (kini bernama Desa Limau Manis, Kecamatan Kampar) Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Satu hal yang saya saksikan sendiri dan masih ingajit sekaligus aneh menurut saya, adanya lubang besar di bawah rumah saya waktu itu.
Sebagai rumah panggung, di bawah lantai rumah orang tua saya ada lubang persegi empat yang cukup dalam dan besar ukurannya. Saya tidak pernah bertanya, siapa yang membuatnya. Dan rumah-rumah di kampung waktu itu sudah ada lubang yang konon disuruh buat oleh Pemerintah Kampung.
Saya tidak tahu waktu itu tahun berapa. Tapi catatan sejarah belakangan menjelaskan kejadian-kejadian sekitaran tahun 1965 itu adalah peristiwa pembunuhan para jenderal TNI Angkatan Darat yang keesokan hari dari peristiwa 30 September 1965 ditemukan mayatnya di lokasi Lubang Buaya, Jakarta. Itulah yang kita baca dalam buku-buku sejarah.
Di kamus Wikipedia catatan tentang peristiwa ditulis begini, “Gerakan 30 September (dalam dokumen pemerintah tertulis Gerakan 30 September/PKI, sering disingkat G30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), atau juga Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam pada tanggal 30 September sampai awal bulan selanjutnya (1 Oktober) tahun 1965 ketika tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang yang lain dibunuh dalam suatu usaha kudeta (https://id.wikipedia.org/). Catatan itu tidak ada yang membantahnya. Tentu saja penulisnya memiliki dokumen yang dapat dipertanggungjawabkan.
Bagi kita, terlepas dari pro kontra belakangan –pasca tumbangnya rezim orde baru– ini, kita tidak ingin catatan kelam itu terulang lagi. Selain pasti merugikan bangsa sendiri oleh anak bangsa sendiri juga akan menggoyahkan bangsa sendiri. Di sisi lain, peristiwa kelam itu pun tidak boleh juga didiamkan, seolah-olah tidak pernah terjadi.
Tidak berlebihan untuk mengenang terbunuhnya para perwira kesuma bangsa, itu kita juga mengibarkan bendera kebangsaan dalam posisi setengah tiang. Itu pertanda kita berduka atas tewasnya mereka. Apapaun alasan politik di balik kejadiannya, akhirnya Pancasila yang sudah disepakati untuk menjadi penyatu anak bangsa yang beraneka suku, agama, selera, daerah ini menjadi satu kesatuan bangsa Indonesia. Mari kita kenang agar sejarah tidak melayang.***