M. Rasyid Nur
MENURUT satu pendapat dari banyak pendapat yang bersiliweran di
media masa (koran, majalah, televisi, dll) tentang mengapa begitu susahnya
menjalankan ketentuan dan peraturan oleh masyarakat kita di negerinya sendiri, bisa disebabkan oleh minusnya keteladanan dari para tokoh
(pemimpin) dalam menjalankan ketentuan dan peraturan itu sendiri. Berbagai pelanggaran
yang setiap saat dapat disaksikan, itu bisa dikarenakan tidak adanya contoh
kepatuhan pada peraturan oleh orang-orang yang seharusnya mencontohkannya.
Esensinya tiada keteladanan dalam penerapan peraturan menyebabkan orang tidak mematuhi peraturan. Satu kesimpulan, jika dirumuskan.
Dari pelanggaran yang paling kecil –seumpama membuang sampah
sembarangan– hingga pelanggaran super besar –seumpama korupsi, menilep uang rakyat
hingga miliaran bahkan triliunan rupiah– terus saja dapat dilihat atau didengar
beritanya di media-media kita. Menurut pendapat ini, pelanggaran itu disebabkan karena tidak adanya orang-orang
yang pantas untuk dicontoh dalam penerapan peraturan dan ketentuan yang
seharusnya dilaksanakan. Sekurang-kiurangnya teramat sulit mencari tokoh
teladan dalam mematuhi peraturan. Jakapun ada, sangatlah sedikit sehingga
seperti tak ada. Tidak dominan.
Sesungguhnya mereka yang dipandang sebagai tokoh sejatinmya
menunjukkan dan meneladankan kepatuhan terhadap peraturan dalam kehidupan
sepanjang waktu dan sepanjang hari. Namun apa boleh buat, mereka tidak atau belum mencontohkan bagaimana mematuhi perturan dalam kenyataan sehari-hari.
Masyarakat awam yang harusnya mematuhi segala ketentuan yang berlaku dalam
kehidupan, bingung atau enggan melakukannya karena tak adanya keteladanan. Maka
jadilah begitu sulitnya menerapkan peraturan di tengah-tengah masyarkat
sendiri.
Memang harus diakui, sejak bangsa ini berpemimpin sendiri (baca:
merdeka) lebih dari 70-an tahun silam, belum juga
bangsa ini menjadikan kebiasaan (karakter) ‘patuh pada peraturan’ sebagai
tradisi hidup sehari-hari. Belum juga timbul tradisi merasa wajib mematuhi segala
peraturan. Justeru yang terdengar di dalam masyarakat adalah pameo, ‘peraturan
dibuat untuk dilanggar’ yang mencerminkan betapa bangsa ini lebih cenderung
melanggar peraturan dari pada mematuhinya. Disadari atau tidak, karakter yang
terbangun justeru karakter melawan ketentuan.
Pameo itu tidaklah isapan jempol saja. Di hampir semua tempat dan
semua tingkatan –institusi, komunitas, kelompok, dst—dengan sangat mudah terjadi
dan ditemukan pelanggaran peraturan walaupun seharusnya tidak perlu terjadi
pelanggaran. Melawan kebenaran dan ketentuan seolah sama enaknya dengan
mendapatkan keberuntungan. Pokoknya di hampir semua tempat selalu ditemukan
drama pelanggaran peraturan.
Di beberapa institusi sudah tidak asing lagi orang berbicara perihal banyaknya terjadi pelanggaran
hukum. Entah menteri, pejabat tinggi dan banyak lagi. Geli, memang jika direnung-renungkan episode pejabat yang melibatkan
beberapa pejabat juga dalam pelanggaran hukum. Dulu, ada kisah Gayus, Urip dan beberapa kasus yang melibatkan isntitusi hukum sendiri. Mereka merusak institusi mereka. Belakangan dan sampai hari ini, kita masih terus membaca berita pelanggaran hukum yang melibatkan pejabat yang nota bene mengerti hukum.
Cerita bersambung ala ‘cinta fitri’ tentang mafia hukum di
institusi hukum lain juga sering kita baca beritanya. Kisah-kisah oknum jaksa, polisi, menteri dan pejabat lainnya masih juga menghiasi informasi kita. Ini tidak harus terus terjadi jika peraturan dan ketentuan ingin dipatuhi. Harus dimulai dari para tokoh dan pejabat ini. Jika dilaksanakan oleh orang atas maka dengan mudah dilaksanakan di bawah karena adanya teladan.
Tentang adanya pelanggaran oleh para pemegang dan pejabat di beberapa institusi, itu tidak dapat ditutup-tutupi. Di institusi keuangan, milsanya juga ada. Entah pajak yang digelapkan, penyaluran dana yang diselewengkan dan lain sebagainya. Dulu, seorang ekonomom (almarhum) terkenal pernah menyatakan bahwa keuangan Negara ini ditilep penyelenggaran Negara lebih
dari 30 %, itu ternyata tidak omongan kosong saja. Pelanggaran juga di terjadi di lapangan hijau alias di bidang olahraga, misalnya.
Di sekolah? Pun tidak kurang pelanggaran hukumnya. Mulai dari guru
yang terlambat mengajar, siswa yang tak hendak menghiraukan tata tertib sampai
kepada pencurangan ujian, termasuk Ujian Nasional yang nota bene dirancang dan
dilaksanakan oleh Pemerintah dengan begitu. Asyiknya, sekolah-sekolah yang
berhasil dengan baik mencurangi ujian asalkan tingkat kelulusannya tinggi dan
kecurangannya tidak diketahui, maka sekolah itu dianggap baik oleh masyarakat. Ini sebagiannya tentu saja catatan masa lalu. Saat UN masih didewakan. Syukurlah dengan beberapa perubahan Kemdikbud dalam pelaksanaan ujian yang tidak terlalu mendewakan UN itu.
Untuk dan atas segala pelanggaran itu selalu ada alasan pembelaan.
Pembelaan yang selalu dikemukakan tentu saja bahwa pelanggaran itu tidaklah
dilakukan oleh lembaganya. Itu hanya oleh oknum-oknum saja. Inilah yang selama
ini dijadikan alasan betapa susahnya memberantas pelanggaran di sebuah lembaga. Lagi-lagi keteladanan tidak dikedepankan.
Di sinilah perlunya keteladanan. Harus ada yang mencontohkan bahwa
peraturan itu memang harus dipatuhi. Jangan lagi dilanggar. Bahwa keteladanan
itu berat, memang berat. Tapi kapan bisa maju jika peraturan belum juga bisa
dilaksanakan dengan baik.
Jika bangsa ini tidak bisa mencontoh Jepang atau Jerman yang
kesadaran ketaatan akan peraturannya sudah sangat tinggi, kita bisa saja
mencontoh Singapura yang untuk mencontohkan keteladanan harus dipaksakan. Jika
di Jepang atau Jerman rakyatanya sudah secara naluri (tanpa pakjsa) mematuhi
peraturan sementara Singapura kita kenal kepemimpinannya yang keras (boleh
disebut diktator) namun untuk kepentingan bersama, kita bisa saja
mengadoposinya.
Syukurlah, jika satu-dua tahun belakangan ini sudah ada gebrakan dari beberapa lembaga, seperti KPK untuk memberikan hukuman sekaligus keteladanan dalam penerapan peraturan. Para pegawai KPK menunjukkan bahwa mereka mereka terlebih dahulu mematuhi peraturan. Dan beberapa orang (masih sedikit) yang berani lantang menyebut perlunya penerapan hukum yang benar, semoga suara-suara itu semakin banyak berbunyi. Kelak, keteladanan itu benar-benar mendominasi para pejabat dan tokoh bangsa.***