Tanjungbatu, Saya Rindu: Sepenggal Kisah di Masa Lalu (ke-20)

Oleh: Khairul Amri

Bermastautin di Pekanbaru
“Rul, jago (bangun, red). Jago la lei (bangun lah lagi, red).” 
Sayup2 saya dengar suara Paman. Badan saya sedikit digoyang2nya.
Selimut kain sarung pun saya buka. Saya duduk dan memperhatikan kiri dan kanan.
Para penumpang rata2 sudah bangun tidur. Malah saya lihat sudah ada yang siap2 seperti mau turun dari kapal. 
“Kojap lai kito tibo di Tanjuongbatu (sebentar lagi kita sampai di Tanjungbatu, red),” kata Paman ke saya, dalam logat bahasa Ocu Kampar.
Paman menyuruh saya ke toilet, bersih2 dan ambil wudhu untuk sholat Subuh. 
Di luar masih gelap. Tapi kapal terasa berjalan pelan. Sambil berjalan menuju toilet, saya menoleh ke luar kapal. Saya lihat samar2 banyak pohon dan tumbuhan tepi laut. Daratan sudah dekat.
Penumpang lain sudah sibuk mengemasi barang2nya. Suasana di dalam kapal jadi riuh dan ramai. 
Dari toilet saya kembali ke kamar. Sementara Paman sudah siap2 pula, seperti halnya penumpang lain. Saya pun segera sholat Subuh, lalu berganti pakaian. Saya juga sudah mengira: KM. JHONSON akan segera sampai ke Tanjungbatu. 
Dari kejauhan, samar2 mulai nampak tanda2 daratan. Kiri dan kanan mulai banyak bangunan yang terlihat. Semakin dekat ke pelabuhan, kapal berjalan makin pelan. Para ABK berlarian ke haluan kapal, itu pertanda kapal besar ini akan segera merapat. 
Hati saya campur aduk. Senang, karena sudah sampai di Tanjungbatu, setelah dua hari dua malam berlayar. Gundah, sebab wajah Mak dan Nenek masih membayang. Kampung halaman masih terkenang, yang sudah sangat jauh saya tinggalkan.
Sebelum kapal sandar, dari kamar saya bisa menoleh ke luar kapal, lewat jendela. Saya lihat di depan ada pelabuhan kayu, hampir mirip dengan pelabuhan di Selatpanjang: Pelabuhan Tanjung Harapan, yang kami singgahi subuh hingga pagi kemarin. 
Klakson kapal berbunyi. Suaranya memecah sunyi di subuh itu. Kapten dan para ABK berusaha dan bekerja sama untuk menyandarkan kapal di pelabuhan. Kapal terasa maju mundur.
Selang beberapa menit, akhirnya kapal besar itu bisa benar2 merapat dan sandar di pelabuhan dengan baik. 
Mulailah para penumpang diarahkan untuk turun duluan.
Saya dan Paman memastikan tak ada lagi barang yang tertinggal di kapal. Setelah semua dicek, kami pun antre menuju pintu keluar kapal.
Kami dan seluruh penumpang diarahkan turun dan ke luar dari kapal. Sangat ramai. Kapal ini padat sekali, oleh penumpang dan barang.
“Alhamdulillah…,” ucap saya dalam hati. Akhirnya saya dan Paman sampai juga ke Tanjungbatu, Kundur, Kepulauan Riau.
Di ujung pelabuhan itu saya lihat ada bacaan: Selamat Datang di Tanjungbatu. Hati saya berdecak kagum: saya sekarang sudah sampai di negeri orang. Saya sekarang sudah menginjakkan kaki di negeri rantau.
Satu persatu penumpang naik ke pelabuhan. ABK mengingatkan agar hati2, karena cuaca masih gelap. Lihat langkah ke depan, jangan sampai jatuh pula nanti. 
Saat itu, saya ingat: menjelang pertengahan tahun 1990. 
Pelabuhan utama di Tanjungbatu, ketika itu, masih terbuat dari kayu. Bangunannya masih bangunan lama. Ini membuat saya sedikit gamang dan agak takut. Karena ini baru pertama saya berjalan di atas papan2 yang disusun jadi lantai pelabuhan.
Langkah saya pelan. Paman memegang tangan saya. Kami sama-sama berjalan menuju darat. 
Meski belum pagi. Tapi suasana di pelabuhan cukup ramai. Biasa seperti itu. Setiap ada kapal yang sandar, pasti ramai yang menanti di pelabuhan. 
Apalagi Tanjungbatu. Negeri kepulauan seperti ini punya tradisi pagi2 sudah duduk di kedai kopi. Tak heran, meski belum terang, kedai kopi di pelabuhan itu sudah ramai. Ada yang sekedar duduk ngopi. Ada juga keluarga yang menunggu di pelabuhan.
Saya cuma tercengang2. Karena belum pernah saya melihat suasana seperti itu. Kampung saja cuma ada sungai. Mana ada seramai itu, di waktu se-pagi itu. 
Sambil membawa tas dan ransel, Paman terus berjalan ke luar dari pelabuhan. Saya hanya mengikutinya dari belakang, dan kadang berjalan di sampingnya. 
Asing sekali Tanjungbatu bagi saya. Perasaan saya waktu itu, seperti tak percaya saja. Kok ke negeri seperti ini Paman membawa saya merantau. Apakah saya akan betah di Tanjungbatu. 
Tapi, ya sudahlah. Kami pun tiba di darat dan siap2 untuk menuju ke rumah Paman. 
Hmmm. Mengingat peristiwa awal itu, kadang senyum dan geleng2 kepala sendiri. Usia belum 12 tahun, tapi saya sudah diajak Paman merantau jauh ke Tanjungbatu.
Meski begitu, Tanjungbatu pula yang bikin saya rindu. Rasa rindu yang selalu ada di hati. Yang akan selalu jadi kenangan. Indah, walau awalnya seperti kisah tadi.
Tanjungbatu… Saya rindu ke sana lagi. **
Pekanbaru, 21092020
Istirahat siang di ruang tamu @rumah kami 🥰

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *