Bermastautin di Pekanbaru
KEMANDIRIAN tak bisa muncul begitu saja. Selain DISIPLIN WAKTU, ada hal-hal lain yang diajarkan Paman ke saya. Sepintas, hal itu seperti mustahil dibebankan ke saya, karena usia masih belasan. Tapi, itu pula yang menjadi kekhasan Paman: tidak boleh cengeng, walau harus ditinggal sendiri, dalam waktu cukup lama.
Saya ingat betul, saat libur sekolah tiba.
Liburan sekolah semester genap, antara Juni-Juli atau Juli-Agustus. Setiap tahun. Seingat saya, sejak liburan semester genap tahun 1991.
Ketika masa liburan tiba, Paman dan keluarganya selalu pulang ke Pekanbaru. Istrinya asli Pekanbaru. Kadang, saat libur, mereka juga pulang kampung ke Airtiris, Kampar.
Masa liburan ini biasanya sampai 2 pekan atau 14 hari. Paling cepat, mereka akan kembali lagi ke Tanjungbatu setelah 10 atau 12 hari. Selama libur itulah, rumah Paman kosong.
Nah, disaat inilah ujian KEMANDIRIAN itu diberikan Paman ke saya. Kata dia: tidak boleh pulang kampung. Nanti kalau sudah tamat, mau pulang, baru boleh. Jangan setiap libur sekolah, terus pulang kampung. Tak akan berhasil nanti sekolahnya. Harus dibiasakan betah di rantau.
Alhasil, siapa yang menjaga rumah Paman? Ya, siapa lagi. Saya.
Selama mereka liburan sekolah, saya-lah yang menunggu rumahnya. Saya mengurus rumah kontrakan Paman.
Selama ditinggal itu, saya bersih2 rumah sendiri. Masak, ya masak sendiri. Kadang belanja sambal di warung. Tapi, lebih sering masak sendiri, agar persediaan uang dan barang-barang di dapur cukup. Mau tidak mau, suka tidak suka, saya harus berpikir: bagaimana caranya saya bisa mengatur hidup. Selama ditinggal seperti itu, saya harus bisa hidup normal seperti biasa.
Jangan dibayangkan ketika itu ada HP. Mana ada HP atau alat komunikasi seperti sekarang. Komunikasi cuma bisa dilakukan lewat surat atau wesel (produk Pos Indonesia: buat kirim uang). Jadi, begitu Paman dan keluarganya berangkat maka saya sudah harus siap fisik dan mental. Bisa dibayangkan, ketika itu usia saya 13 tahun.
Apa rasanya hati saya ketika itu? Tentu saja campur aduk. Mana pernah saya ditinggal begitu lama, sendiri. Apalagi dititipkan rumah dan seisinya, sebegitu lamanya. Belum lagi, selama itu pula saya harus mandiri: masak, masak sendiri, tidur, tidur sendiri, nyuci, nyuci sendiri -seperti lagu dangdut, hehehe.
Hebatnya lagi, masa-masa ditinggal itu, biasanya bertepatan pula dengan ujian semester genap saya di MTs. Karena jadwal ujian semester genap di sekolah umum selalu lebih awal dari jadwal ujian di sekolah agama. Ya, mau tidak mau ada alasan Paman tidak membawa serta saya untuk libur ke Pekanbaru dan Airtiris.
Sedih? Ya, pasti. Sempat gondok? Ya, begitulah. Namun, itu semua saya jalani saja. Selama 3 tahun saya bersama Paman di Tanjungbatu.
Lantas, seperti apa saya menjalani masa-masa mandiri dan hidup sendiri itu?
Nah, ini cerita unik lagi. Benar-benar unik dan saya saja tidak menyangka akan bisa seperti itu. Kalau masa-masa itu saya ingat-ingat, eh malah saya senyum-senyum sendiri.
Ternyata, ini pula yang membuat rasa rindu ke Tanjungbatu muncul lagi. Saya rindu akan masa2 mandiri, saat ditinggal sendiri oleh Paman. Hmmm, sedih. Tapi, kesannya mendalam dan luar biasa. Tanjungbatu… Saya Rindu.
Apa yang saya lakukan, adalah minta izin ke Paman: selama Paman di kampung, saya akan ajak teman-teman tidur di rumah Paman. Tapi saya janji, yang saya ajak itu teman-teman baik saja. Kami akan belajar di rumah Paman, karena masa-masa itu adalah pas waktu ujian semester genap MTs pula.
Syukurnya, Paman saya mengizinkan. Catatan dan pesan Paman, jangan sampai macam-macam. Jaga rumah baik-baik, dan jangan sampai ada laporan tidak baik nantinya dari tetangga.
Catatan dan pesan itu, saya sanggupi. Dan, Paman pun memberi izin.
Cerita uniknya, ternyata selama saya ditinggal sendiri, semuanya berjalan baik-baik saja. Rumah dan seisinya, terjaga dengan baik. Halaman/pekarangan rumah jadi bersih, dan tidak ada laporan apa pun yang tidak baik ke Paman, dari para tetangga.
Lebih uniknya lagi. Saat masa-masa saya ditinggal sendiri, pas ujian kenaikan kelas MTs, justru saat itu pula prestasi saya selalu lebih baik. Nilai ujian saya jadi lebih bagus, daripada saat ujian semester ganjil (saat kelas 2 MTs, sudah memakai sistem semester).
Tentu saja ini membuat Paman senang. Karena itu artinya, janji saya: akan belajar dan berkumpul di rumah Paman dengan teman-teman yang baik-baik, benar seperti itu saya lakukan. Buktinya, hasil ujian saya selalu lebih baik.
Paman memang tak pernah bertanya soal ini, ke saya. Tapi, dari keputusannya tiap tahun pulang kampung dengan keluarganya, dan meninggalkan saya sendiri untuk menjaga rumah, ini saya anggap suatu bentuk kepercayaan yang sudah diberikannya ke saya.
Nah, selama 3 tahun itulah kedisiplinan, mandiri dan kedewasaan diajarkan oleh Paman ke saya.
Seingat saya, selama di MTs Tanjungbatu hanya satu kali saya dibolehkan pulang sama Paman.
Itu pun ketika Datuk saya, ayah Paman sendiri, meninggal dunia. Ini di tahun 1991.
Selebihnya, saya tak pernah lagi pulang kampung. Itu artinya, praktis, waktu 3 tahun itu hampir seluruhnya saya habiskan di Tanjungbatu.
Itulah sebabnya: Tanjungbatu… Saya Rindu. Masa-masa seperti ini tentu tak akan terulang. Karena itu adalah masa lalu. Tapi, masa-masa itu pun tak ada salahnya dikenang. Karena ada masa-masa itulah, saya bisa seperti sekarang.
Tanjungbatu… Saya Rindu. Kapan-kapan dan jika ada waktu, saya akan ke Tanjungbatu lagi. Lagi, dan lagi. Beri jalan, ya Allah… **
Pekanbaru, 18082020
Selasa pagi usai sarapan @ruang tamu rumah kami 😌