5 Views
SETIAP orang boleh saja berpikir tentang peruntukan rezeki yang didapatkan. Rezeki, sederhananya adalah apa yang didapatkan dan berguna untuk menopang kehidupan. Semakin banyak rezeki, orang berpikir semakin baik nasibnya.
Kalau rezeki itu diukur dari orang yang bekerja keras, maka kuli bangunanlah yang akan banyak rezeki dan cepat kaya karena kita mengenal kuli bangunan adalah sosok pekerja keras. Seolah tidak kenal lelah terus bekerja. Seolah kenal waktu, terus bekerja. .
Jika rizeki itu ditentukan dari waktu kerja, maka warung kopi yang buka 24 jam setiap harilah yang akan lebih banyak mendapatkanya. Bayangkan, sementara orang lain mencari rezeki antara 5 s.d 10 jam per hari, misalnya sementara kedai kopi sampai 24 jam. Mestinya lebih banyak mendapatkan rezeki. Bisa saja mengalahkah KFC atau Mc. DONALD dalam mendapatkan penghasilan. Nyatanya tidak.
Atau jika rezeki itu milik orang pintar, maka dosen yang bergelar panjang sebagai tanda kepintarannya yang akan lebih kaya karena rezekinya melimpah. Nyatanya juga tidak. Dan jika rezeki itu dikaitan karena jabatan, tentu saja Presiden atau Rajalah orang yang akan menduduki status terkaya. Misalnya bisa menjadi pengisi Daftar 100 Orang Terkaya di Dunia setiap tahun sebagaimana selalu diumumkan oleh majalah, misalnya.
Nyatanya tidak demikian. rezeki itu ternyata karena kasih sayang Allah. Hanya karena Allahlah seseorang akan kaya. Kata Ali bin Abi Thalib, “Mengejar rezeki jangan mengejar jumlahnya, tetapi berkahnya” Artinya banyak-sdikitnya rezeki bukanlah ukuran. Tapi yang harus menjadi ukuran adalah berkah-tidaknya rezeki bagi yang memilikinya.
Ada ungkapan yang layak dipahami, “MESKIPUN LARI, RIZKIMU AKAN TETAP MENGEJARMU,” yang berarti bahwa rezeki itu tidak harus dikejar-kejar. Rezeki sudah diperuntukkan Allah untuk hamba-Nya. Simaklah makna sebuah hadits, “Kalaulah anak Adam lari dari reekinya (untuk menjalankan perintah Allah) sebagaimana ia lari dari kematian, niscaya rezekinya akan mengejarnya sebagaimana kematian itu akan mengejarnya.” (HR Ibnu Hibban No. 1084).
Kalau begitu, miskin atau kaya sesungguhnya sudah ada yang mengaturnya. Ingatlah kembali iktibar dalam kisah Abdurrahman bin Auf yang selalu gagal ingin menjadi orang miskin. Tersebut dalam sejarah, tiba-tiba kondisi ekonomi “down” di masanya. Sebagai pengusaha dalam kisah bisnis Abdurrahman bin Auf, tentang investasinya membeli kurma busuk.
Suatu ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, Abdurrahman bin Auf r.a akan masuk syurga terakhir karena terlalu kaya. Ini karena orang yang paling kaya akan dihisab paling lama. Mendengar ini, Abdul Rahman bin Auf pun berpikir keras, bagaimana agar bisa kembali menjadi miskin supaya dapat masuk syurga lebih awal.
Setelah Perang Tabuk, kurma di Madinah yang ditinggalkan sahabat menjadi busuk. Lalu harganya jatuh. Abdurrahman bin Auf r.a pun menjual semua hartanya, kemudian memborong semua kurma busuk milik sahabat tadi dengan harga kurma bagus. Tujuannya tentu mengurangi atau menghabiskan kekayaannya sekaligus dapat membantu orang lain.
Semuanya bersyukur, alhamdulillah, karena kurma yang dikhawatirkan tidak laku, tiba-tiba laku keras. Diborong semuanya oleh Abdurrahman bin Auf. Sahabat bergembira. Abdurrahman bin Auf r.a pun juga gembira meskipun pada hakikatnya dia kehilangan banyak sekali kekayaan. Para sahabat lain gembira sebab semua dagangannya laku, sementara Abdurrahman bin Auf r.a bergembira juga, sebab berharap dia akan jatuh miskin. Yang diharapkannya adalah bisa masuk syurga pada kesempatan awal.
Masya Allah, hebatnya dia. Coba kalau kita? Usaha diuji sedikit saja, terkadang sudah berteriak tak tentu arah. Abdurrahman bin Auf r.a merasa sangat lega, sebab tahu akan bakal masuk syurga lebih dahulu, sebab sudah miskin. Namun, masya Allah rencana Allah Subhanahu wa ta’ala itu memang terbaik. Apoa yang terjadi?
Tiba-tiba, datang utusan dari Yaman membawa berita, Raja Yaman mencari kurma busuk. Rupa-rupanya, di Yaman sedang berjangkit wabah penyakit menular, dan obat yang cocok adalah kurma busuk. Utusan Raja Yaman berniat akan memborong semua kurma Abdurrahman bin Auf r.a dengan harga 10 kali lipat dari harga kurma biasa. Bayangkan.
Subhanalloh. Orang lain berusaha keras jadi kaya. Sebaliknya, Abdurrahman bin Auf berusaha keras untuk menjadi miskin tapi selalu gagal. Benarlah firman Allah, “Wahai manusia, di langit ada rezeki bagi kalian. Juga semua karunia yang dijanjikan pada kalian” (Qs. Adz Dzariat, 22 )
Jadi, yang banyak memberi rezeki itu datangnya dari kurma yang bagus atau kurma yang busuk? Allah Subhanahu wa ta’alalah yang memberi rezeki. Pada situasi seperti itu, justeru yang dibayangkan akan merugi dan bakal akan jatuh miskin, malah sebaliknya atas izin Allah.
Semoga kisah ini dapat menyuntik kembali semangat dalam diri kita semua, yang sedang diuji dalam pekerjaan dan usaha kita. Hendaklah kita tetap mengutamakan urusan dengan Allah dari pada sekadar mementingkan urusan dunia semata. Yakinlah bahwa dunia ini hanya sementara.***
*Dikirimkan oleh H. Zubad Akhadi Muttaqien