Diperiksa di Satu Check Point, Penumpang Mobil tak Boleh Berlebih
Tiga bulan, sejak tengah Maret lalu, efektif hanya ‘mengurung’ diri saja di Pekanbaru. Jangankan ke luar kota, buat ke luar rumah saja terasa masih was-was. New Normal, saat pandemi Covid 19, jadi awal baru dan membawa kebahagiaan tersendiri.
Laporan
Khairul Amri, Pekanbaru
SEJAK akan berangkat dari rumah, Sabtu (13/6), sebenarnya sudah merasa ragu. Banyak info yang berseliweran: ke Sumatera Barat belum bisa masuk, karena tertahan di perbatasan Riau-Sumbar. Info lain, sudah aman dan bisa saja masuk, asalkan mematuhi protokol Covid 19.
“Jadi kita ke Sumbar,” tanya saya ke istri dan anak.
Istri nampak ragu. Karena banyak grup WA-nya yang menginformasikan kalau ke Sumbar belum bisa. “Kemarin pas ke kedai, pun Bapak di kedai kasi informasi, belum bisa dan masih ditahan di perbatasan Riau-Sumbar,” kata istri, yang intinya dia tak berkenan ke Sumbar.
Lain lagi anak saya. Karena sudah berencana sejak tengah pekan lalu, dan persiapan seperti pakaian dan lainnya sudah dilakukannya, justru lebih berani. “Kita coba aja lah, yah. Udah siap-siap juga tu. Kalau nanti tak bisa masuk, kita putar balik aja lagi,” kata Alifia, penuh semangat.
Karena sambil bermuka sedih, Alifia memberi saran ke saya, akhirnya kami pun sepakat untuk tetap berangkat. Dengan catatan, jika nanti tertahan di perbatasan tentu harus kembali lagi ke Pekanbaru.
Persiapan keberangkatan ke Sumbar pun dimulai. Semua kelengkapan, sesuai protokol Covid 19, saat jalankan New Normal saat ini, kami sediakan. Masker masing-masing, hand sanitizer buat bersama-sama, termasuk hasil rapid rest saya pribadi, sudah ready. Begitu pun dengan batasan jumlah penumpang mobil, tak boleh lebih dari 50 persen. Kebetulan mobil saya jenis SUV dengan tiga baris kursi, berarti bisa diisi maksimal 4 orang penumpang.
Semua siap berangkat. Jam di tangan menunjukkan pukul 09.00 WIB. Saya duduk jadi supir. Istri duduk disamping. Anak dan ponakan duduk berdua di kursi tengah. Kursi belakang dilipat, karena banyak barang bawaan yang turut dimuat. Bermodal persiapan sesuai protokol penanganan Covid 19, walau tetap was-was, mobil pun meluncur ke arah Sumatera Barat.
Hampir dua jam perjalanan, mobil tiba di XII Koto Kampar. Nampak ada tenda berdiri, tak jauh dari gerbang masuk arah ke Candi Muara Takus. Di jalan juga nampak beberapa pembatas jalan dipasang. Ada pula spanduk bertuliskan “setiap kendaraan yang melintas dilakukan pemeriksaan”.
Mobil saya berjalan pelan. Hati mulai was-was. Tapi, karena masih pagi, para petugas di bawah tenda nampak masih sibuk. Tak kelihatan ada petugas yang menyetop kendaraan di badan jalan. Sambil tetap berjalan pelan, klakson saya bunyikan. Petugas di pos nampak hanya mengangguk, dan mobil kami pun lewat dari pos pemeriksaan.
“Alhamdulillah,” kata anak saya. Satu pos pemeriksaan di batas Riau-Sumbar berhasil lolos. Tinggal satu kekhawairan lagi, pos masuk ke perbatasan Sumbar. Apakah bisa lolos atau justru harus balik kanan lagi.
Tanpa berlama-lama, mobil saya gas terus menuju perbatasan, masuk ke daerah Pangkalan, Sumbar. Jalan lurus. Penurunan dan Pendakian, sampai ke SPBU pertama sebelah kiri dari Pekanbaru, nampak suasana masih aman-aman saja. Tak ada tanda-tanda bakal ada pemeriksaan disitu.
Namun, selang 30 menit, kondisi yang dikhawatirkan tadi pun muncul di depan mata. Persis di kawasan jembatan timbang Tanjung Balik, sesudah Pangkalan, berdiri pos penjagaan. Check point pertama masuk ke Sumbar. Semua yang ada di mobil pun mulai deg-degan. Masker semua dipasang, hand sanitizer juga dipasang dan jarak duduk di mobil pun diatur.
Terlihat banyak petugas berjaga. Mobil yang berada persis di depan kami, mulai disetop petugas. Ada petugas dari TNI, polisi, BPBD dan kesehatan di tempat itu. Semua mereka berpakaian lengkap. Kondisi ini mulai membuat ciut nyali. “Kalau tak lolos, kita balik kanan lagi,” kata saya, dan di iya kan oleh semuanya.
Mobil bergerak pelan. Sampai mendekati petugas, diminta membuka kaca mobil.
“Ada berapa orang penumpangnya, Pak?,” tanya petugas berseragam loreng.
“Kami cuma berempat, Pak. Karena tidak boleh ramai-ramai,” jawab saya.
Petugas itu tak puas begitu saja. Dia melongok ke dalam mobil. “Oh, ya pas berempat ya. Masker semua terus dipakai ya. Hati-hati dan tetap waspada Covid 19,” kata dia.
Kami semua cuma bisa diam dan angguk-angguk kepala. Sebenarnya sambil berdoa: semoga bisa lolos dan tidak disuruh kembali pulang atau putar arah.
Dan, benar saja. Juga sambil berucap, “Alhamdulillah,” kata saya dalam hati. Akhirnya mobil kami disuruh menepi oleh petugas dari kepoisian.
“Baiklah. Mobil diparkir ke tepi saja dulu, Pak. Lalu turun dan periksakan suhu tubuh di tenda sana,” kata dia mengarahkan. Di tenda itu nampak ada 3 orang petugas kesehatan. Mereka sudah siap dengan pakaian lengkap astronot, dan masing-masing memegang alat ukur suhu tubuh.
“Bapak suhunya 36,4 derajat, ya,” kata petugas perempuan yang memeriksa saya. Tiga keluarga lagi, istri, anak dan ponakan pun diperiksa. Alhamdulillah, hasilnya relatif sama. Tidak ada yang bersuhu tubuh sampai 37,5 derajat atau 38 derajat. Kami pun bisa lega, dan menarik nafas panjang.
Karena sudah sesuai protokol Covid 19 dan New Normal, kami berempat diizinkan untuk kembali naik ke mobil. “Pemeriksaan sudah selesai, dan Bapak serta keluarga boleh lanjut jalan,” kata petugas kesehatan itu. Saya lihat, wajah semuanya nampak senang.
Mobil kami akhirnya lolos. Begitupun dengan dua mobil yang ada di depan. Karena saya lihat, mereka juga patuh dengan protokol Covid. Penumpang yang ada di mobil pun tak lebih dari 4 orang. Semua senang bisa masuk ke Sumbar untuk menikmati suasana kota wisata ini.
*Jam Gadang Sangat Ramai, Selalu Diingatkan Bermasker*
Beberapa hotel dan wisma di Bukittinggi nampak masih lengah dari pengunjung. Parkir mobil di tempat parkir, masih satu atau dua saja. Namun begitu, jelang malam, pas berkeliling seputar kota Bukittinggi, suasana ramai pun mulai terasa. Apalagi ini Sabtu malam Minggu.
Sejumlah nampak sangat ramai. Bahkan kami tidak jadi minum di sebuah cafe, tak jauh dari jam gadang/panorama, karena pengunjungnya terlalu ramai. Kebanyakan anak muda. Pihak cafe sudah mengikuti protokol Covid, misalnya kursi berjarak, dan juga meja diatur sedemikian rupa, tapi tetap saja muda mudi ini sulit diatur. Mereka kumpul ramai-ramai, akan tetapi tetap bermasker.
Kami coba ke jam gadang, landmark nya Bukittinngi. Tak ada bedanya. Malah di kawasan ini lebih ramai. Akan tetapi, hampir setiap 30 detik, dari pengeras suara terdengar pengumuman: seluruh pengunjung wajib mengenakan masker. Bahkan beberapa petugas pun nampak berjaga, agar seluruh pengunjung taat aturan sesuai protokol Covid 19. Meski ramai, suasana di jam gadang malam itu tetap nampak tertib dan aman.
Bahkan, salah satu tempat makan dan nongkrong, tak jauh dari jam gadang pun lebih ketat menetapkan protokol Covid. Kami akhirnya memilih duduk minum dan makan disitu. Saat akan masuk, diperiksa suhu tubuh. Lalu ditanya, berapa orang dan disesuaikan dengan kondisi di dalam. Bahkan setiap kursi sudah ditandai dengan lakban, agar tidak duduk, dan semua pengunjung mengatur jarak duduk dan jarak antre di kasir. Bagi yang tidak bisa masuk, juga disedikan konter buat take away atau pesanan untuk dibawa pulang.
Suasana seputar jam gadang terus ramai sampai tengah malam. Dari suara-suara yang terdengar saat bercakap-cakap, memang rata-rata masih warga sekitar Bukittinggi. Dari beberapa mobil yang parkir pun dapat dilihat, belum banyak yang berasal dari luar Provinsi Sumatera Barat. Sepertinya, warga Sumbar pun baru pekan ini bisa melepaskan kerinduan untuk bersantai di luar rumah.
Sejumlah kawasan wisata pun nampak sudah dibuka. Termasuk kawasan keramaian, seperti terlihat pada Ahad (14/6) pagi. Salah satu lokasi tempat olahraga di tengah kota Bukittinggi pun sudah nampak ramai dipenuhi warga yang berolahraga. Roda ekonomi di Bukittinggi mulai bergerak lagi. Masyarakat pun mulai beraktivitas normal. Jangan sampai ada lagi yang terkena Corona Virus atau Covid 19. Sehingga New Normal benar-benar jadi awal baru untuk memulai hidup yang benar-benar baru dan sehat. **