Selamat Jalan, Tamu Agung: Bagaimanakah Seharusnya Sikap Kita?

Oleh M.
Rasyid Nur
TIDAKLAH berlebihan, jika kita mengibaratkan
Ramadhan sebagai tamu penting kita. Dia adalah tamu agung. Begitulah agama kita
mengajarkan iktibarnya. Ramadhan hanya datang sekali dalam setiap tahun. Dia
datang membawa begitu berlimpah hikmah. Kita meyakininya, bulan penuh rahmah, penuh
berkah dan maghfirah. Artinya Ramadhan ibarat tamu penting yang jika kebersamaan
kita selama satu bulan ini benar-benar berlandaskan iman dan keikhlasan,
insyaallah dosa-dosa kita yang kemarin-kemarin itu akan diampuni oleh Yang Maha
Pengampun.  Ghufira ma taqoddama min zambih, kata guru kita memberi motivasi.
Kini tamu agung itu akan pergi. Setelah satu bulan
kita jalani kebersamaan ini dengannya, dia segera akan pergi. Hari Sabtu
(23/05/2020) malam ini dia benar-benar akan pamit, pergi meninggalkan kita. Terbenamnya
sang surya sore Sabtu, itu pertnada diapun sudah tidak bersama kita lagi. Selamat
jalan, Ramadhan. Selamat jalan tamu agung nan mulia. 
Lalu bagaimana sikap kita atas kepergiannya?
Boleh jadi, salah satu sikap kita adalah dengan melepaskannya dalam perasaan yang
biasa-biasa saja. Kita mungkin akan 
melepaskannya dari kebersamaan kita dengan sikap datar-datar saja. Jika pun
kita tersenyum boleh jadi dengan senyum yang dipaksakan. Serasa tidak ada yang
istimewa bersamanya dalam satu purnama ini. Begitukah?
Tapi bisa juga sikap lainnya. Kemungkinan dengan perasaan
marah, perasaan cemberut, atau dongkol. Satu bulan bersamanya justeru membuat
hidup kita serasa tidak nyaman. Kita merasa tidak bebas, sebebas sebelum dia
tidak bersama kita. Ah, jangan-jangan kebersamaan ini telah membuat kita begitu
gondoknya. Kebersamaan dalam satu bulan jangan-jangan serasa sudah satu tahun. Begitukah?
Entahlah.
Sikap lainnya lagi, boleh jadi kita akan melepaskannya
dengan perasaan sedih (haru) sekaligus juga gembira. Bahkan sekaligus merasa
kehilangan juga atas kepergiannya. Kok bisa? Ketahuilah, inilah sikap yang
seharusnya. Sikap yang sebenarnya diajarkan agama. Sebagaimana gembiranya kita
saat dia datang dulu, begitu juga rasa gembira kita setelah satu bulan kita mampu
bersamanya dengan baik dan benar. Siang kita bersamanya, begitu pula malamnya. Tidak
pernah kita menjauh darinya. Itulah yang kita gembirakan. Kita telah mendapat
kesempatan emas kita untuk mengembalikan citra diri kita sebagai makhluk suci
yang diciptakan Tuhan saat kita dilahirkan. Bukankah lahirnya kita adalah dalam
keadaan bersih atau fitrah? Tiada dosa dan tiada noda? Kehidupan setelah
kelahiran itulah yang melahirkan noda dan dosa. Tapi Ramadhan memberi kita kesempatan
untuk kembali suci alias fitri ini.
Maka untuk tamu yang membuat gembira inilah kita
akan bergembira juga. Tapi kepergiannya tentu saja membuat sedih atau haru juga.
Haru karena rasa bahagia yang mendalam. Dan dengan tamu seperti itulah kita
akan melakukan yang terbaik untuknya. Kita akan mengantarkan tamu istimewa ini
tidak cukup sampai ke pintu atau teras rumah saja. Kita akan
mengantarkannya  hingga ke batas akhir yang bisa; entah ke ujung jalan, ke
pelabuhan atau hingga ke bandara karena sangat istimewanya tamu tersebut.
Itulah sikap terbaik, yang seharsunya kita lakukan.
Seandainya sikap pertama atau kedua yang kita
tunjukkan, tentu saja tamu tersebut belum atau tidaklah istimewa bagi kita.
Tidak berkesan dalam hidup kita, bahkan cenderung serasa membebani kita
sehingga kita tidak melepaskannya secara istimewa pula. 
Tapi jika kita memilih sikap terakhir itu, tentu
saja, tamu ini benar benar diperlakukan istimewa oleh kita. Kita tidak cukup
mengantarnya hingga ke pintu rumah dengan perasaan biasa-biasa saja. Kita  akan mengantarkannya dengan perasaan istimewa,
bahagia bercampur sedih. Kita pasti akan meluangkan waktu khusus untuk dapat
mengantarkannya hingga ke ujung jalan terakhir, ke pelabuhan, ke terminal atau
ke bandara, misalnya. Tidak cukup mengantarkannya dengan sikap terbaik, bahkan
sampai perasaan kita akan larut dalam kesedihan hingga kita memeluknya erat
seakan tidak mau melepaskannya dengan mudah. Begitulah sikap terbaik yang dapat
kita lakukan atas kepergiannya.
Jika Ramadhan kita anggap benar-benar istiwewa, bagaikan
tamu agung yang tiada duanya, tentu kita tidak akan melepaskannya dengan
perasaan datar dan biasa-biasa saja. Kita tidak akan melepaskannya seolah tanpa
ada apa-apa dari kehadirannya. Pastilah kepergiannya akan meninggalkan kesan
yang hebat bagi kita. Kesan inilah sesungguhnya yang tidak kalah penting bagi
kita. Bahwa dosa dan noda kita semoga dihapusnya, itulah harapan dasarnya. Tapi
hidup dan kehidupan pasca kepergiannya itu juga teramat penting untuk kita
kaitkan dengan kebersamaan kita sebelum dia pergi. Bukankah Tuhan janjikan,
andai kita mampu bersamanya dengan baik, dengan iman keikhlasan yang sempurna,
maka status takwa akan diberikan-Nya. Derajat takwa yang dinobatkan inilah yang
sama pentingnya dengan bukti kebaikan dalam kebersamaan sebelumnya itu. Mampukah
kita memberikan kesan status takwa itu dalam sisa kehidupan kita seterusnya? Kita
tepuk dada kita, kita Tanya selera kita, kaena itulah sasaran lain dari
kebersamaan kita dengannya. Ramadhan boleh meninggalkan kita. Tapi pendidikan
Ramadhan tidak boleh ikut pergi bersama kepergiannya. 
Mampukah kita membuktikan? Itulah kebahagiaan
lain yang amat penting untuk perjalanan kehidupan kita menjelang akhir hayat
kita. Semoag kesan itu mampu kita dapatkan.***

Dapat dibaca di: https://mrasyidnur.gurusiana.id/article/2020/5/selamat-jalan-….

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *