Refleksi Pelepasan Ramadhan
Oleh: Mochamad Nasrudin (Monas)
KALAU ada tamu penting dari jauh datang ke rumah kita, lalu mereka hendak pamit pulang, apa sikap kita? Sikap pertama, apakah Anda akan melepaskannya biasa-biasa saja, melepaskannya dari rumah kita dengan sikap datar, perasaan marah, perasaan cemberut, perasaan malas, ataukah Anda akan memilih sikap kedua,yakni, kita akan melepaskannya dengan perasaan gembira, dan perasaan kehilangan, sehingga kita akan mengantarkan tamu istimewa tersebut tidak cukup dari rumah saja namun kita akan mengantarkannya hingga ke pelabuhan bahkan hingga ke bandara karena sangat istimewanya tamu tersebut.
Kalau sikap pertama yang Anda tunjukkan, tentu saja tamu tersebut tidaklah istimewa bagi anda, tidak berkesan dalam hidup anda, bahkan cenderung membebani anda, sehingga anda tidak melepaskannya secara istimewa. Anda hanya akan mengantarkannya dari pintu rumah saja tanpa adanya perasaan istimewa, dan tanpa mau meluangkan waktu khusus baginya untuk mengantarkan nya kembali.
Sebaliknya, jika Anda memilih sikap kedua, tentu saja, tamu ini benar benar istimewa bagi anda. Anda tidak cukup mengantar dari pintu rumah dg perasaan biasa biasa saja,. Namun anda akan mengantarkan nya dengan perasaan istimewa, meluangkan waktu khusus untuk dapat mengantarkannya hingga ke pelabuhan, bahkan hingga ke bandara karena begitu istimewanya tamu ini. Tidak cukup mengantarkannya dengan sikap terbaik, bahkan sampai perasaan kita akan larut dalam kesedihan hingga kita memeluknya erat seakan tidak mau melepaskannya dengan mudah.
Kedua pilihan sikap pertanyaan di atas saya pertanyakan ke anda, karena saya ingin anda, saya pribadi merefleksikan ilustrasi di atas terhadap bulan ramadhan yang akan berlalu dari hidup kita. Ramadhan akan berpamitan sebentar lagi, tentu sikap kita akan tergambar dari dua sikap di atas.
Jika ramadhan kita anggap istiwewa, tentu kita tidak akan melepaskannya dengan perasaan datar dan biasa biasa saja. Kita tidak akan melepaskannya seolah tanpa ada apa apa dari pintu rumah kita.
Ramadhan mau berlalu dan pamitan, bukannya kita sibuk mengantarkannya balik dengan perasaan istimewa, beribadah secara khusus, menangis di tengah malam hingga menjelang kepergian nya di sore hari dengan perasaan sedih dan seakan tidak mau berpisah yang kita tunjukkan dengan ibadah super intens karena sayang akan kepergiannya.
Ataukah kita lebih melepaskannya dengan perasaan acuh dan tidak ada rasa istimewa di dalamnya. Hal ini akan nampak dari saat kita melepaskannya tanpa perasaan dan sikap khusus dan ibadah teristimewa. Ramadhan hendak berlalu, namun kita sibuk dengan urusan dunia lainnya, sibuk ngurusi kue, sibuk ngurusi baju baru, dan lain lain persiapan lebaran lainnya secara berlebihan sehingga hati kita tidak ada ta’dhim secara khusus untuk melepaskan ramadhan yang istimewa ini.
Apalagi dengan adanya ujian Corona yg merupakan rahmat bagi orang beriman ini, harusnya membuat kita tidak lagi berpikir terlalu duniawi utk sibuk ngurusi kue dan baju lebaran, namun kondisi seperti ini harusnya menolong kita untuk sedikit lebih condong ke Allah daripada condong ke urusan kesibukan duniawi seperti masa masa sebelumnya.
Semoga catatan renungan saya ini bisa menjadi refleksi bagi kita bersama untuk melepaskan Ramadhan dengan perasaan khusus dan ibadah lebih intensif sebagaimana yang dicontohkan para ulama salafussholeh terdahulu, karena saat ini langit,bumi, dan para malaikat sedang menangis karena berpisah dengan Ramadhan, akankah kita akan ikut menangis melepaskan ramadhan yang istimewa ini. Minimal jika kita belum tersentuh untuk menangisi kepergian ramadhan, minimal kita siapkan waktu khusus kita dengan ibadah terbaik untuk melepaskannya.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 H. Mohon maaf lahir dan batin. Semoga kita akan kembali ke Iedul Fitri dengan kebersihan hati dan dosa dosa yang terampuni. Amin yra.
Mochamad Nasrudin sekeluarga