12 Views

Surat Terbuka: Untuk Dia yang Langkahnya
Semakin Goyah

Oleh M. Rasyid Nur
SEDIH. Ya menyedihkan. Setelah ibunda
pergi, berpulang ke pangkuan Ilahi, barulah ada yang disadari sambil menyesali. Kini  baru tersadar, tak lagi ada tempat bersandar. Ini
benar-benar kesedihan terbesar setelah titik akhir itu menghampiri. Sedih karena keliru
memahmi dan melakoni apa yang memang mesti akan terjadi. Hanya ada genangan air mata di pipi.


Kepergian
ibunda itu hal biasa, sejatinya. Tiada sesiapa yang dapat menjaga dan
menahannya. Hidup mustahil dapat ditahan untuk selamanya. Kematian bukan hanya peristiwa alam. Kematian
adalah sunnah dari-Nya yang tak pernah ada diantara manusia yang mampu
melawannya. Sesayang apapun manusia peada hidupnya, sekuat apapun cinta manusia kepada hidupnya, tetaplah Dia yang akan menentukan
segalanya. Hidup akan akan ditutup dengan kematian.


Sayangnya,
dalam waktu begitu lama, itu tersia-sia. Tak hendak memahaminya. Sejak ayah mendahului semua keluarga,
belasan tahun sudah, dia terbuai sebagai anak bungsu yang merasa berhak dimanja dan
berbuat yang dia suka. Ketika semua abang-kakak sudah berkeluara karena usia sudah
tiba, dia tetap merasa berhak dimanja ibunda. Celaknya, uang pensiun ayah yang
tidak seberapa sebagai warisan pegawai rendah di instansi Pemerintah dia saja yang merasa berhak
berkuasa dan mencairkannya. Sesungguhnya itu adalah warisan penghasilan alakadar yang wajib
diberikan ke ibunda.Jika pun ibunda memberinya, itulah pertanda kasih-sayang ibunda kepada anaknya.


Untuk
kelakuan yang salah ini ibunda hanya mengurut dada. Menyaksikan si bungsu berpoya-poya dengan
uang yang tidak seberapa setiap bulannya, ibunda terus harus mengurut dada. Ibunda malah menyandarkan perut yang tidak jarang kosong kepada
beberapa abang-kakak yang terpaksa rela menerima kehadiran ibunda. Sesuap nasi dan
seteguk air untuk settitik kehidupan ibunda kini menjadi tanggung jawab bersama abang-kakak. Tapi dia tetap
tidak berubah kelakuannya.
Apakah si bungsu salah asuh yang membuat dia malas? Apakah dia benar-benar pemalas? Sepertinya memang kelihatan
berkategori pemalas. Malas bekerja. Malas berusaha. Malas hidup bersusah-susah.
Malas hampir segalanya, kecuali berpoya-poya dengan uang yang tidak seberapa.

Dia benar-benar tidak menunjukkan bahwa dia sudah lebih dari sekadar dewasa.
Usianya sesungguhnya sudah hampir setengah tua. Sudah lebih dari dewasa. Jika harus menyebut angka, mendekati angka 30 tahun. Tapi tetap saja berperilaku anak remaja yang tindakan
dan perbuatannya lebih banyak membuat susah.

Kini
ibunda sudah tiada. Ibunda pergi. Pergi menyusul ayahanda yang sudah lama
tiada. Dia bagaikan kehilangan tumpuan. Abang-kakak tidak mudah akan menopang
selamanya untuk dia terus seperti itu. Masing-masing sudah lama bersusah-payah
agar bertahan tegak bersama keluarga. Isteri-suami dan anak-anak
sendiri-sendiri adalah warga baru yang harus dibela. Tidak akan mudah menerima
dia yang tidak juga berubah.
Kini
penyesalan terbesar sudah terasa. Penyesalan sudah membelit diri. Uang pensiun yang
selama itu dibuat salah kelola, sudah pasti tidak akan ada lagi. Ibunda adalah
waris terakhir yang dapat menerima. Anak-anak yang usianya sudah tua mustahil
akan mewarisinya. Maka dia kini benar-benar menyesali hidupnya. 
Sudah
saatnya berubah. Bukan menyesali apa yang terjadi. Bukalah mata, bukalah
telinga, renungkan di hati. Apa yang terjadi sudah terjadi. Hidup bukan untuk
menyesali apa yang sudah terjadi. Kejadian itu adalah suannh-Nya. Dia, Kau dan
aku hanya bisa dan wajib menerima. Belajar ikhlas menerimanya adalah cara
terbaik mengubah semua kesalahan itu.
Tidak harus menyalahkan diri tersebab
karena anak bungsu. Menjadi anak bontot sering tersalahpahamkan. Anak bungsu,
anak keempat dari adik-beradik yang  kesemuanya sudah berkeluarga bukanlah
kejadian tiba-tiba dari Tuhan. Abang-kakak yang sudah mengingatkan agar
bekerja, bekerja dan bekerja adalah cara benar yang tidak juga didengar. Berusaha,  mandiri. berusahalah menopang hidup sendiri
karena usia sudah lebih dari dewasa juga nasihat yang berulang selama ini. Tapi
itu bukanlah untuk disesali mengapa selama ini tidak diikuti.
Segera saja kembali. Jalan salah yang
selama ini dituruti akan membawa langkah salah semakin jauh. Dan menyesali apa
yang terjadi malah akan menciptakan kesalahn kedua. Padahal kesalahan pertama
ini perlu segera diperbaiki. Semoga catatan ini menjadi pelita hati,
menyadarkan dirimu.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *