Ternyata Indonesia Belum ‘ Merdeka’ Sebenarnya?

Oleh M. Rasyid Nur

INI sebuah ilustrasi. Sebuah dialog seorang guru di depan kelasnya. Bertanya kepada para siswanya tentang negara, Indonesia. Sebagai guru yang mengajar dan mendidik anak-anak di sekolah paling awal, ibu guru kita ini merasa perlu bertanya begitu.
“TAHUN berpakah Indonesia
merdeka?”  Seorang Guru bertanya
kepada siswa.
“Tahun 1945, Bu. Tepatnya, pada 17
Agustus 1945,”  jawab seorang siswa.
Anak SD bisa menjawab, itu biasa. Bolehlah dipastikan, hampir semua siswa tahu
kapan Indonesia merdeka.
“Bagus. Bagus. Proklamasi
kemerdekaan itu dibacakan oleh Sukarno,” tambah Bu Guru dengan bangga
karena siswanya dianggap mengerti sejarah.
“Ah, belum Bu.” Tiba-tiba seorang
siswa laki-laki memecah ketenangan itu. “ Kita belum merdeka, Bu!.” Sambungnya
menambahkan sambil mengangkat tangan.
Seisi kelas terdiam. Guru terdiam,
siswa lain juga terdiam. Hanya saling pandang dan seolah tersenyum hendak
mengejek siswa yang mengacungkan telunjuk. Bagaimana dia berani mengatakan
belum merdeka? Begitulah kira-kira pertanyaan di hati masing-masing.
Siswa tersebut lalu menambah
penjelasannya, “Bacalah berita, lihat di wilayah Kepulauan Riau dan
sebagian Bangka Belitung, pesawat yang mau turun dan naik dari dan ke udara
dari sana ke wilayah Indonesia lainnya tak bisa kalau tak diizinkan Singapura.
Artinya kita belum merdeka, Bu.” Siswa itu memberikan argumennya.
Ilustrasi
itu tepat sekali menggambarkan betapa Negara kecil Singapura, tetangga kita itu
 ternyata bisa menjajah Indonesia. Konon
sejak tahun 1946, buah perundingan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional
yang diadakan di Dublin, Irlandia,  Maret
1946 (tanpa dihadri utusan Indonesia) organisasi itu memberi mandat kepada
Negeri Singa itu untuk mengontrol wilayah udara tetangganya, termasuk Indonesia.
Artinya seumur kemerdekaan Indonesia saat ini, kita masih juga dijajah dalam
hal berkuasa di udara sendiri oleh sebuah Negara tetangga. Negara kecil lagi
jika dilihat luas wilayah dan jumlah penduduknya.
Ini
benar-benar menggoyahkan pertahanan bangsa kita. Sebuah kasus menyedihkan, yang
menunjukkan betapa Indonesia tidak merdeka terhadap wilyahnya. Pada tahun 1991
lalu,konon  ketika Menhankam waktu itu,
LB. Murdani ingin mendarat di bumi Natuna (wilayah Indonesia) tidak serta-merta
dapat turun dari pesawat udara yang membawanya. Singapura tidak menggubris
permintaan pilot untuk mendarat. Miris sekali, kan?
Setelah
mengemis/ merengek-rengek selama 15 menit barulah dapat izin dan pesawatnya
boleh turun. Izin dari Singapura benar-benar menghambat tugas kenegaraan
seorang pejabat tinggi Angkatan Bersenjata RI waktu itu. (baca Lipsus Riau Pos
Minggu, 18 Maret 2012)  Menggeramkan? Itulah faktanya. Di saat Mendikbud
kita mempopulerkan istilah merdeka di ranah pendidikan kita, rupa-rupanya
secara politik kita juga kasih dianggap belum merdeka. Hadeuh!
Rakyat bisa
saja dianggap tidak terlalu mengerti lika-liku otoritas yang didapat Singapura
atas kedaulatan wilayah RI itu. Tapi yang saat ini dirasakan oleh rakyat pasti
sama: kok Indonesia bisa dijajah Singapura? Dan penjajahan itu terasa real atas
wilayah udara bangsa. Bangsa kita benar-benar tidak berdaulat.
Yang selama
ini baru dipahami masyarakat (meski juga menyakitkan) adalah penjajahan ekonomi
negara-negara maju (termasuk Singapura juga) atas ekonomi Indonesia. Tapi
penjajahan atas wilayah (udara) tak sebegitu dipahami dan didengar masyarakat.
Bisa jadi ini juga kesengajaan pihak-pihak tertentu untuk menutp-nutupinya di
mata rakyat. Dengan begitu seolah-olah kita tetap merdeka padahal belum
merdeka.
Singapura
yang sengaja menyembunyikan koruptor-koruptor Indonesia di negerinya, selama ini
pun belum membuat prustrasi Bangsa besar ini terhadap kepongahan Singapura.
Belum terdengar nada permusuhan bangsa ini menyikapi kebiajakan memelihara
koruptor yang menghisap kekayaan Indonesia itu. Seribu alasan dibuatnya untuk
tidak mau menyepakati perjanjian ekstradisi antar kedua negara. Untuk hal ini,
sepertinya kita juga pura-pura tak mengerti.
Kini dengan
berita penajajahan ala Singapura ini, akankah kita masih diam juga? Seberapa
besarkah ketergantungan bangsa dengan 250-an juta penduduk ini kepada Singapura?
Tidak bisakah Bangsa kita menunjukkan sedikit ketegasannya demi marwah dan
kedaulatan yang dijamin undang-undang itu? (Siapa yang mau ‘menepuk dada,
menanyakan selera’ terhadap fakta memalukan ini?) Sungguh banyak pertanyaan
yang menyesak dada kalau memikirkan kemerdekaan yang terjajah ini.***

Sudah diposting juga diblog pribadi lainnya

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *