Tapi tahukah kita bahwa pesan itu ternyata enaknya hanya diucapkan tapi belum tentu enak dibuktikan dalam tindakan dan perbuatan? Nyata dan ada, dalam kehidupan yang sering kita saksikan, rupanya lebih banyak orang mudah mengucapkannya saja tapi berat alias pahit untuk melaksanakan. Ringan di lidah tapi begitu berat di tangan atau anggota badan lainnya untuk membuktikan.
Kapan dan dimana saja sejatinya pesan mulia itu mau dan harus mampu dibuktikan? Agama sudah mengajarkan bahwa keikhlasan dan kejujuran, seharusnya cukup untuk mengarahkan kita untuk tidak sekadar mementingkan kepentingan pribadi saja. Kita sudah diajarkan rasa lapar, misalnya saat berpuasa sebagaimana dirasakan oleh para pakir-miskin. Itu sudah seharusnya membuka mata untuk merasakan dalam tindakan apa yang dirasakan mereka yang hidup serba kekurangan itu. Kiranya kita lebih mengutamakan kepentingan dan kebutuhan para pakir-miskin atau siapapun yang membutuhkan atas dasar perasaan yang kita alami dalam menunaikan puasa itu. Itu artinya, kepada kita diajarkan bahwa kepentingan orang lain itu harus diutamakan.
Tapi banyak kejadian yang kelihatan, itu ternyata benar-benar tidak mudah untuk dilaksanakan dalam keseharian. Konsep dan pesan agar lebih mengutamakan orang lain dari pada diri sendiri, itu hanya enak disebut saja. Bahwa beberapa orang berhasil membuktikannya, memang iya. Tapi jumlahnya belum mengalahkan jumlah sebaliknya. Justeru yang lebih banyak itu adalah yang tetap lebih mengutamakan diri sendiri atau golongannya dari pada orang lain. Tersebab itu pulalah maka pendidikan karakter (akhlak) itu sangat penting bagi bangsa kita.
Kasus-kasus hukum yang membuat ‘pusing’ KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) atau Polisi dan atau Jaksa, misalnya sesungguhnya terjadi tersebab pelakunya tidak mengamalkan konsep ini. Para koruptor itu adalah sosok yang tetap saja mementingkan kepentingan pribadi atau keluarganya dalam tindak-tanduknya. Jika saja masih berpikir tentang kepentingan orang lain atau kelompok yang lebih banyak, dipastikan mereka tidak akan melakukan pelanggaran hukum itu. Peraturan (umum) sudah menentukan pengelolaan keuangan (anggaran) itu bagaimana. Tapi tetap tidak dipatuhi karena tetap mementingkan keinginan sendiri.
Berharap agar agama mampu mengubah sikap individualistis itu, boleh-boleh saja. Tapi apakah akan berhasil sesuai harapan itu, mungkin harus menunggu menjelang batas tertentu. Dan batas itu, hanya kita secara pribadi yang akan tahu. Jika agama ingin ada gunanya dalam kehidupan sehari-hari, maka jangan lagi sikap individualistis yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan keluarga saja, terus-menerus di amalkan. Dan sebagai guru, sandaran harapan itu tidak dapat dihindarkan. Selain mencontohkan, kepada kita juga terbentang kewajiban untuk menyampaikan.
Untuk itu harus ada tekad yang kuat dari kita untuk mengubah kebiasaan jelek itu. Dan meskipun dikatakan bahwa pernyataan ‘mementingkan kepentingan bersama lebih baik dari mementingkan kepentingan pribadi’ itu hanya mudah diucapkan saja, sesungguhnya sebagai guru kita bisa dan harus bisa mempraktikkannya. Bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk anak-didik kita. Walau berat dan pahit terasa untuk dibuat, tetaplah berusaha untuk melakukannya.***
*Artikel yang sama juga di www.mrasyidnur.gurusiana.id