Meningkatkan Minat Membaca: Mengubah Harus Menjadi Wajib

Oleh: M. Rasyid Nur
JIKA ada yang mestinya disedihkan di sekolah atau
di lembaga pendidikan lainnya, salah satunya adalah rendahnya minat membaca
peserta didik (siswa). Belum ada kebiasaan membaca di kalangan peserta didik di
sekolah-sekolah kita. Jika pun ada siswa yang tampak seperti suka membaca
ternyata itu belum bersumber dari kesadaran dalam dirinya. Membaca baru sebatas
memenuhi keinginan dan atau perintah dari luar diri seperti dari guru. Itu pun
bilamana ada guru (pendidik) yang berinisiatif memberi perintah (baca: tugas)
membaca kepada siswa.

Pada sisi lain, kelaziman guru di sekolah dalam
memotivasi siswa untuk membaca, pun baru pada level ‘mengharuskan’, bukan
’mewajibkan’. Itu juga jika sekolah memiliki program ‘meningkatkan minat
membaca’ siswa. Jika sekolah masih mengabaikan ‘pentingnya membaca’ dalam
manajemen sekolah maka tidak juga akan ada keharusan membaca oleh guru kepada
siswa. Guru tidak mau repot-repot meminta para siswa untuk membaca karena
berimplikasi pada tindak lanjut (evaluasi) dari tugas tersebut.
Atau jika saja sang guru sedang memberi tugas
rumah (PR = Pekerjaan Rumah) buat siswa maka barulah ada guru yang mengharuskan
siswanya membaca. Atau jika sang guru adalah guru yang mengampu Mata Pelajaran
(MP) Bahasa Indonesia atau MP Bahasa Inggeris yang memang salah satu ranah
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang wajib diberikan kepada
siswa adalah Keterampilan Membaca (selain keterampilan menyimak, menulis dan
berbicara) maka ada kemungkinan guru ini akan mengharuskan siswa untuk membaca.
Apapun posisi dan situasinya, empiris di lapangan
menjelaskan bahwa sikap guru terhadap siswa dalam hal pengelolaan membaca
barulah pada tingkat mengharuskan. Belum mewajibkan, apalagi memaksakan dalam
arti positif. Padahal strategi mewajibkan akan membuat siswa lebih mementingkan
melaksanakannya dari pada strategi mengharuskan saja. Wajib yang mengandung
pemahaman 1) tak boleh tidak, 2) tidak boleh ditinggalkan; 3) diberi
penghargaan bagi yang melakukan dan hukuman bagi yang tidak melakukan,
sementara harus mengandung pemahaman boleh dibuat atau tidak, maka sesungguhnya
pendekatan ’mewajibkan’ dapat diterapkan kepada siswa dalam mengatasi rendahnya
minat membaca siswa.
Mengubah keharusan membaca menjadi kewajiban
membaca sebagai salah satu pendekatan mengatasi rendahnya minat membaca siswa,
kedengarannya memang rada sok dan utopia sekali. Tapi itu tidaklah mustahil.
Sebab membiarkan diri, keluarga, tetangga bahkan bangsa ini tetap menjadi orang
yang disebut tidak punya tradisi membaca alias malas membaca dalam waktu yang
sudah begitu lama, juga sangatlah berbahaya. Apatah lagi yang terbiar itu
adalah para siswa yang nota-bene adalah tunas generasi penerus kehidupan bangsa
ini. Itu sangat tidak baik untuk eksistensi bangsa. 
Terbiarnya siswa dalam posisi merasa tidak
penting membaca jelas akan berkontribusi besar dan signifikan terhadap tingkat
‘minat membaca bangsa’ secara nasional. Orang asing menyebut kita bangsa yang
malas membaca, tentu karena ada alasannya. Itu pasti bukan fitnah. Survey
sederhana yang dilakukan di kelas dalam proses pembelajaran berlangsung,
membuktikan bahwa tingkat minat dan kebiasaan membaca siswa di setiap rombel
(rombongan belajar) nyaris tidak cukup 5 % (lima persen) di setiap rombel.
Hanya ditemukan antara satu sampai dua orang saja siswa yang membaca setiap
hari dari 40 (empat puluh) orang siswa di kelas. Membaca di sini maksudnya
siswa yang tiap hari melakukan aktifitas membaca dengan baik dan
bersungguh-sungguh dari kesadaran hati. Bahan bacaan juga beragam, di luar
materi pelajaran di sekolah.
Banyak data penelitian –dari yang sederhana
sampai ke yang serius– menyimpulkan bahwa sebagian kita (tentu bukan Anda yang
tengah membaca artikel ini) memang tidak suka membaca. Kalau ada rasa ingin
tahu tentang sesuatu, orang yang malas membaca ini lebih suka mendengar saja
untuk mencari informasi yang dibutuhkannya. Syukur jika sebelum mendengar masih
mau bertanya. Padahal banyak pula yang, jangan ‘kan membaca untuk mencari tahu,
ternyata untuk bertanya saja juga malas. Maunya cukup menerima saja. Tidak
perlu mencarinya. Fenomena ini jelas membuktikan betapa rendahnya minat membaca
siswa kita khusunya dan bangsa ini secara umum. 
Bukti kurangnya tingkat membaca bangsa ini,
lihatlah di tempat-tempat keramaian atau di tempat-tempat umum. Walaupun dari
sekian banyak orang di tempat umum itu tidaklah semua beraktifitas lain (di
luar membaca) tapi yang tidak beraktifitas itu ternyata juga tidak mengisi
waktu, misalnya untuk membaca. Kalau ada televisi di situ, lebih suka
memelototi televisi tersebut. Kalau tidak, ya melamun saja. Tidak mau mengisi
waktu kosong untuk membaca.
Padahal di negara lain begitu mudahnya menemukan
masyarakatnya yang jika tiada aktifitas lain –di tempat umum ataupun di mana
saja– pasti diisi dengan aktifitas membaca. Mereka sudah begitu sangat rajin
membaca. Sementara bangsa kita, khsusnya para siswa di sekolah masih begitu
memprihatinkan tingkat minat membacanya.
Mengutip data Makalah Bank Dunia yang pernah
dikeluarkan sekitar satu dekade yang lalu menjelaskan bahwa diantara beberapa
negera di sekitar kita ternyata tingkat minat membaca bangsa kita tergolong
rendah. Menurut Vincent Greanary dalam tulisan itu bahwa kemampuan membaca
murid kelas 6 SD (Sekolah Dasar) di negara kita baru rata-rata 51,7. Padahal di
Filipina angkanya mencapai 52,6; di Thailand 65,1; di Singapura 74 dan di
Hongkong 75,5. Begitu pula dengan kebiasaan membaca orang dewasa terbilang juga
rendah. Inidikasi, salah satunya dilihat dari jumlah pembaca koran atau bacaan
lain yang terbit secara rutin. 
Idealnya, setiap satu surat kabar dibaca oleh
sepuluh orang. Tetapi ternyata di Indonesia perbandingannya hanya 1:45.
Artinya, setiap 45 orang membaca satu koran. Padahal di Filipina angkanya 1:30
dan di Sri Lanka 1:38. Sungguh perbandingan yang sangat jauh.
Selain itu menurut laporan yang dibuat Badan
Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2003 yang lalu bahwa penduduk Indonesia yang
berumur di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11 %. Jika pun data ini
ada peningkatan, pastilah Negara-negara di sekitar kita, apalagi Negara maju,
akan jauh lebih meningkat lagi berbading bangsa kita. Munculnya sebutan Orang
Rusia Gila Membaca jelas menunjukkan betapa masyarakat Rusia memang sangat
tinggi tingkat minat membacanya. Di negeri Beruang itu, dari yang paling kecil
(kanak-kanak) hingga kaek-kakek senantiasa memegang dan membawa bahan bacaan
kemana akan pergi. Bagaimana kebiasaan masyarakat kita jika akan bepergian?
Yang tak lupa dibawa adalah persediaan makanan.
Kinilah saatnya mengubah ‘harus’ menjadi ‘wajib’
dalam membaca khususnya bagi para siswa. Selama ini para guru memang belum
menjadikan kewajiban membaca bagi peserta didiknya dalam usaha menyukseskan
proses pembelajaran. Rendahnya minat membaca para siswa saat ini tidaklah
sepenuhnya menjadi kesalahan para siswa saja. Guru yang ‘digugu dan ditiru’
adalah sosok yang akan menajadi penentu tingkat minat membaca siswa khususnya
dan bahkan tingkat membaca bangsa ini umumnya.
Guru tidak ada pilihan lain untuk mengatasi rendahnya
minat membaca siswa, kecuali dengan memaksakan (mewajibkan) siswa membaca.
Status keharusan membaca selama ini mesti diubah menjadi wajib. Tentu saja para
guru sudah terlebih dahulu menunjukkan bahwa dia memang mewajibkan membaca buat
dirinya. Keteladanan ini penting.
Harus berbesar hati pula menerima sinyalemen
bahwa guru masih enggan memaksakan membaca bagi para siswa karena penerapan
wajib membaca bagi diri sendiri mungkin belum dilaksanakan. Apalagi kewajiban
membaca bagi siswa serasa menjadi beban lain yang tidak mudah diterima dan
dilaksanakan guru. 
Bahkan di sekolah saja masih banyak para siswa
yang tidak mau membaca karena tidak merasa ada kewajiban. Sedihnya, guru-guru
tidak pula memperhatikan ini. Guru-guru tidak hendak mewajibkan para siswa ini
membaca. Paling-paling baru mengharuskan. Itu juga belum tentu. Padahal jauh
lebih ampuh dari sekedar mewajibkan adalah bilamana guru sepanjang waktu
bersama siswa mampu membuktikan bahwa si guru memang lebih dulu ‘gila membaca’.
Budaya membaca seharusnya ditanamkan sejak masa
kanak-kanak, terutama pada masa sekolah dasar. Orang tua berperan lebih besar
dalam menanamkan budaya membaca ini. Yaitu dengan memberikan bacaan. Umumnya
yang diberikan adalah majalah anak-anak. Bagaimana kalau orang tuanya tidak
suka membaca? Mungkin tidak terpikirkan untuk memberikan putra-putrinya bacaan.
Bagaimana peran guru dalam menanamkan budaya
membaca? Beberapa langkah aplikasi wajib membaca berikut mungkin bisa dilaksanakan,
antara lain, 1) Setiap siswa oleh guru diwajibkan memiliki pustaka pribadi di
rumah meskipun hanya mampu memiliki beberapa judul buku di luar buku paket
pelajaran; 2) Siswa wajib melaporkan dan guru wajib memeriksa data inventaris
buku pustaka pribadi ini; 3) Siswa wajib membaca koleksi pustaka pribadinya
secara berkala (priodik) harian atau mingguan; 4) Siswa wajib melaporkan bacaan
berkalanya kepada guru (bisa guru yang mengampu MP Bahasa Indobnesia bisa juga
Wali Kelas) apa saja yang sudah dan sedang dibaca, harian atau mingguan.
Slain langkah-langkah itu, kebiasaan menyuruh
siswa merangkum (resume) buku-buku pelajaran oleh guru harus terus dilanjutkan.
Sarankan juga siswa memiliki kartu pustaka Daerah/ Wilayah selain kartu pustaka
sekolah. Semua ini untuk secara terus-menerus merangsang otak siswa untuk
membaca. Akan lebih baik jika itu sudah dimulai sejak siswa masih kecil (dari
pendidikian dasar). Kata pribahasa, ”Kecil teranja-anja, bila besar
terbawa-bawa, sudah tua terubah tiada,” dapat menjadi nyata dalam tradisi dan
kebiasaan membaca. Semoga.***
Artikel ini sudah saya muat di  https://mrasyidnur.blogspot.com/2010/12/

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *