Anak Nakal Penguat Akal: Catatan Guru Berguru

Oleh M. Rasyid Nur

 
Berburu ke padang datar
Dapat rusa belang di kaki
Berguru kepalang ajar
Bagaikan bunga kembang tak jadi
PANTUN
itu diajarkan oleh guru-guru kita zaman dahulu adalah untuk mengingatkan agar
belajar itu tidak boleh setengah-setengah atau malah setengah hati. Belajar
antara iya dengan tidak saja. Bukan

saja tidak menyelesaikan (tamat) satu jenjang
tertentu tapi malah tidak mau memahami inti dan meteri pembelajaran itu
sendiri. Padahal manusia wajib belajar sepanjang hayatnya.
Sebagai
guru atau kalau kita menyebut guru, kita menyebutnya adalah pengajar maka kita wajib tetap belajar. Siapapun
yang berpikir tentang guru, ya dia adalah pengajar, pendidik, pelatih atau
apapun fungsinya sebagaimana dijelaskan pada Undang-undang Guru dan Dosen yang sekaligus pembelajar. Jika kita pendidik,  berarti kita adalah seorang guru yang wajib bisa mengayomi,
membimbing atau apalah namanya kepada peserta didik. Pokoknya wajib bisa
menjadi orang yang diteladani. Itulah beratnya menjadi guru, kalau ingin
disebut juga berat.
Tapi
sebenarnya itu belumlah termasuk kategori berat. Guru wajib menjadi teladan bagi
orang lain, apalagi bagi murid-muridnya sendiri, itu sejatinya sudah otomatis. Tidak
bisa dielakkan. Justeru yang lebih berat adalah bagaimana guru itu juga harus
berposisi sebagai murid pula. Artinya guru itu juga harus belajar lagi dan
belajar lagi. Tidak ada kata ‘tamat’ dalam belajar. Termasuk bagi kita yang sudah berstatus guru.
Coba
diingat kembali pesan-pesan guru, dulu. Dengan mengutip ajaran agama, misalnya
guru-guru kita memesankan kepada kita bahwa kewajiban belajar atau menuntut
ilmu itu adalah kewajiban sepanjang hayat. Sedari kecil (minalmahdi)
hingga sampailah kita besar, tua bahkan dekat menjalang mati/ berpulang ke
rahmatullah (ilallahdi) kita terus-menerus disuruh (wajib) menuntut ilmu alias belajar.
Jika
begitu konsepnya, berarti kita memang terus harus belajar. Tidak boleh lagi ada
pandangan bahwa bagi kita (guru) masa belajar itu hanya waktu sekolah atau
waktu kuliah saja. Dan setelah diangkat atau dipercayakan menjadi guru
(pendidik) lalu tidak lagi belajar, inilah pandangan yang salah. Sekali lagi, konsepnya adalah belajar sepanjang hayat.
Di
sekolah, tempat objek belajar guru yang paling baik tentu saja kepada anak-didiknya
selain kepada sesama guru atau kepada buku-buku. Anak-didik (siswa) adalah guru
yang paling baik sebenarnya bagi gurunya untuk berguru atau belajar. Setiap
guru dengan begitu banyak siswanya, dapat dipastikan akan merasakan begitu
banyak juga pengalaman. Dengan berbagai karakter siswa, dengan berbagai tingkat
kemampuan dan kecerdasan siswanya, para guru akan berkesempatan menambah pengetahuannya
dalam melaksanakan fungsi-fungsi keguruannya.
Di sekolah tentu saja banyak karkater dan tingkah polah anak-didik kita. Mungkin ada yang kita sebuat anak
nakal, anak baik yang bertingkah-laku baki, anak pendiam dan anak rewel serta bebagai perangai
anak yang ditemukan di kelas (di sekolah) misalnya. Itu semua pastilah akan menjadi tantangan dan pengalaman
berharga bagi guru. Dan pengalaman itu akan mendatangkan pengetahuan baru
ketika guru dan menjadikan pengalaman itu untuk bergerak menentukan strategi dalam
menjalankan tugas.
Jadi,
belajar kepada anak itu sesungguhnya adalah cara terbaik bagi guru untuk
terus-menerus mengembangkan ilmu pengetahuan serta pengalamannya. Menghadapi anak yang kita sebut sebagai anak nakal, itu sudah tentu akan membuat pikiran dan perasaan kita menjadi kuat dan tegar juga. Maka, mari
kita belajar kepada anak-anak kita yang beraneka tingkah itu. Jika terhadap anak baik kita akan berkesempatan menguji hal-hal yang baik, kepada
anak nakal kita berkesempatan memperkuat akal dan pikiran kita. Dan juga bisa
memperkuat (tegar) perasaan kita. Insyaallah.***

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *