Oleh: Mochammad Nasrudin
MUNGKIN sebagian kita agak lupa atau –semoga– masih ingat, sebuah nama, Ahmad bin Miskin. Siapakah Ahmad bin Miskin itu?. Dia adalah seorang ulama abad ke-3 Hijriah dari kota
Basrah, Irak. Ulama terkenal ini pernah bercerita tentang dirinya sendiri. Kisahnya ini pasti ada gunanya bagi kita saat ini atau sampai kapanpun di masa yang akan datang.
Basrah, Irak. Ulama terkenal ini pernah bercerita tentang dirinya sendiri. Kisahnya ini pasti ada gunanya bagi kita saat ini atau sampai kapanpun di masa yang akan datang.
Ahmad bin Miskin bercerita. Katanya, Aku pernah diuji dengan kemiskinan pada tahun 219 Hijriyah. Saat itu, aku sama sekali tidak memiliki apapun, sementara aku harus menafkahi seorang isteri dan seorang
anak. Lilitan hebat rasa lapar terbiasa mengiringi hari-hariku dan kami sekeluarga.
anak. Lilitan hebat rasa lapar terbiasa mengiringi hari-hariku dan kami sekeluarga.
Maka aku bertekad untuk menjual rumah dan pindah ke tempat
lain. Akupun berjalan mencari orang yang bersedia membeli rumahku. Lalu bertemulah aku dengan sahabatku, Abu Nashr dan kuceritakan
kondisiku. Lantas, dia malah memberiku dua keping roti isi manisan dan
berkata: “Berikan makanan ini kepada keluargamu.”
lain. Akupun berjalan mencari orang yang bersedia membeli rumahku. Lalu bertemulah aku dengan sahabatku, Abu Nashr dan kuceritakan
kondisiku. Lantas, dia malah memberiku dua keping roti isi manisan dan
berkata: “Berikan makanan ini kepada keluargamu.”
Di tengah perjalanan pulang, aku berpapasan dengan seorang
wanita fakir bersama anaknya. Tatapannya jatuh pada kedua lembar rotiku. Dengan
memelas dia memohon: “Tuanku, anak yatim ini belum makan, tak kuasa terlalu lama
menahan rasa lapar yang melilit. “Tolong beri dia sesuatu yang bisa dia makan. Semoga Allah
merahmati Tuan,” lanjutnya.
wanita fakir bersama anaknya. Tatapannya jatuh pada kedua lembar rotiku. Dengan
memelas dia memohon: “Tuanku, anak yatim ini belum makan, tak kuasa terlalu lama
menahan rasa lapar yang melilit. “Tolong beri dia sesuatu yang bisa dia makan. Semoga Allah
merahmati Tuan,” lanjutnya.
Sementara itu, si anak menatapku polos dengan tatapan yang
takkan kulupakan sepanjang hayat. Tatapan matanya menghanyutkan fikiranku dalam
khayalan ukhrowi, seolah-olah surga turun ke bumi, menawarkan dirinya kepada
siapapun yang ingin meminangnya, dengan mahar mengenyangkan anak yatim miskin dan ibunya ini.
takkan kulupakan sepanjang hayat. Tatapan matanya menghanyutkan fikiranku dalam
khayalan ukhrowi, seolah-olah surga turun ke bumi, menawarkan dirinya kepada
siapapun yang ingin meminangnya, dengan mahar mengenyangkan anak yatim miskin dan ibunya ini.
Tanpa ragu sedikitpun, kuserahkan semua yang ada di tanganku. “Ambillah, beri dia makan”, kataku pada si ibu. Demi Allah, padahal waktu itu tak sepeserpun dinar atau
dirham kumiliki. Sementara di rumah, keluargaku sangat membutuhkan makanan
itu.
dirham kumiliki. Sementara di rumah, keluargaku sangat membutuhkan makanan
itu.
Spontan, si ibu tak kuasa membendung air mata dan si
kecil pun tersenyum indah bak purnama. Kutinggalkan mereka berdua dan kulanjutkan langkah gontaiku, sementara beban hidup terus bergelayutan dipikiranku.
kecil pun tersenyum indah bak purnama. Kutinggalkan mereka berdua dan kulanjutkan langkah gontaiku, sementara beban hidup terus bergelayutan dipikiranku.
Sejenak, kusandarkan tubuh ini di sebuah dinding, sambil
terus memikirkan rencanaku menjual rumah. Dalam posisi seperti itu, tiba-tiba
Abu Nashr dengan kegirangan mendatangiku.
terus memikirkan rencanaku menjual rumah. Dalam posisi seperti itu, tiba-tiba
Abu Nashr dengan kegirangan mendatangiku.
“Hei, Abu Muhammad! Kenapa kau duduk di sini sementara limpahan harta
sedang memenuhi rumahmu?” tanyanya.
sedang memenuhi rumahmu?” tanyanya.
“Subhanallah….!”, jawabku kaget. “Dari mana datangnya?”
“Tadi ada pria datang dari Khurasan. Dia bertanya-tanya tentang ayahmu atau siapapun yang punya
hubungan kerabat dengannya. Dia membawa berduyun-duyun angkutan barang penuh berisi
harta,” ujarnya.
hubungan kerabat dengannya. Dia membawa berduyun-duyun angkutan barang penuh berisi
harta,” ujarnya.
“Terus?”, tanyaku keheranan.
“Dia itu dahulu saudagar kaya di Bashroh ini. Kawan ayahmu. Dulu ayahmu pernah menitipkan kepadanya harta yang telah ia
kumpulkan selama 30 tahun. Lantas dia rugi besar dan bangkrut. Semua hartanya musnah,
termasuk harta ayahmu.”
kumpulkan selama 30 tahun. Lantas dia rugi besar dan bangkrut. Semua hartanya musnah,
termasuk harta ayahmu.”
Lalu dia lari meninggalkan kota ini menuju Khurasan. Di sana, kondisi ekonominya berangsur-angsur membaik.
Bisnisnya melejit sukses. Kesulitan hidupnya perlahan lahan pergi, berganti dengan
limpahan kekayaan. Lantas dia kembali ke kota ini, ingin meminta maaf dan
memohon keikhlasan ayahmu atau keluarganya atas kesalahannya yang lalu.
Bisnisnya melejit sukses. Kesulitan hidupnya perlahan lahan pergi, berganti dengan
limpahan kekayaan. Lantas dia kembali ke kota ini, ingin meminta maaf dan
memohon keikhlasan ayahmu atau keluarganya atas kesalahannya yang lalu.
Maka sekarang, dia datang membawa seluruh harta hasil
keuntungan niaganya yang telah dia kumpulkan selama 30 tahun berbisnis. Dia ingin berikan semuanya kepadamu, berharap ayahmu dan
keluarganya berkenan memaafkannya.”
keuntungan niaganya yang telah dia kumpulkan selama 30 tahun berbisnis. Dia ingin berikan semuanya kepadamu, berharap ayahmu dan
keluarganya berkenan memaafkannya.”
Dengan perubahan drastis nasib hidupnya ini, Ahmad bin
Miskin melanjutkan ceritanya:
Miskin melanjutkan ceritanya:
Kalimat puji dan syukur kepada Allah berdesakan meluncur
dari lisanku. Sebagai bentuk syukur. Segera kucari wanita faqir dan
anaknya tadi. Aku menyantuni dan menanggung biaya hidup mereka seumur
hidup.
dari lisanku. Sebagai bentuk syukur. Segera kucari wanita faqir dan
anaknya tadi. Aku menyantuni dan menanggung biaya hidup mereka seumur
hidup.
Aku pun terjun di dunia bisnis seraya menyibukkan diri
dengan kegiatan sosial, sedekah, santunan dan berbagai bentuk amal shalih. Adapun hartaku, terus bertambah melimpah ruah tanpa
berkurang.
dengan kegiatan sosial, sedekah, santunan dan berbagai bentuk amal shalih. Adapun hartaku, terus bertambah melimpah ruah tanpa
berkurang.
Tanpa sadar, aku merasa takjub dengan amal shalihku. Aku merasa, telah mengukir lembaran catatan malaikat dengan
hiasan amal kebaikan. Ada semacam harapan pasti dalam diri, bahwa namaku mungkin telah tertulis di sisi Allah dalam
daftar orang orang shalih.
hiasan amal kebaikan. Ada semacam harapan pasti dalam diri, bahwa namaku mungkin telah tertulis di sisi Allah dalam
daftar orang orang shalih.
Suatu malam, aku tidur dan bermimpi. Aku lihat, diriku tengah berhadapan dengan hari kiamat. Aku juga lihat, manusia bagaikan ombak, bertumpuk dan
berbenturan satu sama lain.
berbenturan satu sama lain.
Aku juga lihat, bada n mereka membesar. Dosa-dosa pada hari itu berwujud dan berupa, dan setiap orang memanggul dosa-dosa itu masing-masing di
punggungnya.
punggungnya.
Bahkan aku melihat, ada seorang pendosa yang memanggul di
punggungnya beban besar seukuran kota Basrah, isinya hanyalah dosa-dosa dan hal-hal
yang menghinakan. Kemudian, timbangan amal pun ditegakkan, dan tiba giliranku
untuk perhitungan amal.
punggungnya beban besar seukuran kota Basrah, isinya hanyalah dosa-dosa dan hal-hal
yang menghinakan. Kemudian, timbangan amal pun ditegakkan, dan tiba giliranku
untuk perhitungan amal.
Seluruh amal burukku ditaruh di salah satu sisi timbangan, sedangkan amal baikku di sisi timbangan yang lain. Ternyata, amal burukku jauh lebih berat daripada amal
baikku..!
baikku..!
Tapi ternyata, perhitungan belum selesai. Mereka mulai menaruh satu persatu berbagai jenis amal baik
yang pernah kulakukan. Namun alangkah ruginya aku. Ternyata dibalik semua amal itu terdapat nafsu tersembunyi. Nafsu tersembunyi itu adalah riya, ingin dipuji, merasa bangga
dengan amal shalih. Semua itu membuat amalku tak berharga. Lebih buruk lagi, ternyata tidak ada satupun amalku yang
lepas dari nafsu-nafsu itu.
yang pernah kulakukan. Namun alangkah ruginya aku. Ternyata dibalik semua amal itu terdapat nafsu tersembunyi. Nafsu tersembunyi itu adalah riya, ingin dipuji, merasa bangga
dengan amal shalih. Semua itu membuat amalku tak berharga. Lebih buruk lagi, ternyata tidak ada satupun amalku yang
lepas dari nafsu-nafsu itu.
Aku putus asa. Aku yakin aku akan binasa. Aku tidak punya alasan lagi untuk selamat dari siksa neraka.
Tiba-tiba, aku mendengar suara, “Masihkah orang ini punya
amal baik?”
amal baik?”
“Masih…”, jawab suara lain. “Masih tersisa ini.”
Aku pun penasaran, amal baik apa gerangan yang masih
tersisa? Aku berusaha melihatnya.
tersisa? Aku berusaha melihatnya.
Ternyata, itu hanyalah dua keping roti isi manisan yang
pernah ku sedekahkan kepada wanita fakir dan anaknya.
pernah ku sedekahkan kepada wanita fakir dan anaknya.
Habis sudah harapanku… Sekarang aku benar benar yakin akan binasa sejadi-jadinya.
Bagaimana mungkin dua keping roti ini menyelamatkanku,sedangkan
dulu aku pernah bersedekah 100 dinar sekali sedekah (100 dinar = +/- 425 gram
emas = Rp 250 juta), dan itu tidak berguna sedikit pun. Aku merasa benar-benar tertipu habis-habisan.
dulu aku pernah bersedekah 100 dinar sekali sedekah (100 dinar = +/- 425 gram
emas = Rp 250 juta), dan itu tidak berguna sedikit pun. Aku merasa benar-benar tertipu habis-habisan.
Segera dua keping roti itu ditaruh di timbanganku. Tak kusangka, ternyata timbangan kebaikanku bergerak turun
sedikit demi sedikit, dan terus bergerak turun sampai-sampai lebih berat
sedikit dibandingkan timbangan kejelekanku.
sedikit demi sedikit, dan terus bergerak turun sampai-sampai lebih berat
sedikit dibandingkan timbangan kejelekanku.
Tak sampai di situ, ternyata masih ada lagi amal baikku. Yaitu berupa air mata wanita faqir itu yang mengalir saat
aku berikan sedekah. Air mata tak terbendung yang mengalir kala terenyuh akan
kebaikanku. Aku, yang kala itu lebih mementingkan dia dan anaknya
dibanding keluargaku.
aku berikan sedekah. Air mata tak terbendung yang mengalir kala terenyuh akan
kebaikanku. Aku, yang kala itu lebih mementingkan dia dan anaknya
dibanding keluargaku.
Sungguh tak terbayang, saat air mata itu ditaruh, ternyata
timbangan baikku semakin turun dan terus memberat. Hingga akhirnya aku mendengar suatu suara berkata, “Orang
ini selamat dari siksa neraka..!”
timbangan baikku semakin turun dan terus memberat. Hingga akhirnya aku mendengar suatu suara berkata, “Orang
ini selamat dari siksa neraka..!”
Jang Ada Nafsu Tersembunyi
Masih adakah terselip dalam hati kita nafsu ingin dilihat
hebat oleh orang lain pada ibadah dan amal-amal kita? Jangan pernah bersandar
pada amal yang telah kau lakukan. Sebab dari ‘ketertipuan’ ini adalah sikap bersandar kepada amal
secara berlebih. Ini akan melahirkan kepuasan, kebanggaan, riya dan akhlak
buruk kepada Allah Ta’ala
hebat oleh orang lain pada ibadah dan amal-amal kita? Jangan pernah bersandar
pada amal yang telah kau lakukan. Sebab dari ‘ketertipuan’ ini adalah sikap bersandar kepada amal
secara berlebih. Ini akan melahirkan kepuasan, kebanggaan, riya dan akhlak
buruk kepada Allah Ta’ala
Orang yang melakukan amal ibadah tidak akan pernah tahu
apakah amalnya diterima atau tidak oleh Allah. Mereka tidak tahu betapa besar dosa dan maksiatnya, juga
mereka tidak tahu apakah amalnya bernilai keikhlasan atau tidak. Jangan pernah ada nafasu yang tersembunyi di hati kita.
apakah amalnya diterima atau tidak oleh Allah. Mereka tidak tahu betapa besar dosa dan maksiatnya, juga
mereka tidak tahu apakah amalnya bernilai keikhlasan atau tidak. Jangan pernah ada nafasu yang tersembunyi di hati kita.
Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan amal ibadah hamba-hamba-Nya.
Dia Maha Kaya, tidak butuh kepada makhluk-Nya. Kita yang memerlukan Dia. Maka teruslah mengerjakan amal sholeh sebanyak-banyaknya tapi
jangan merasa diri paling sholeh,sebab amal belum cukup mengantarkan kita
ke surga tanpa rahmat dan kasih sayang dari Allah S.W.T
Dia Maha Kaya, tidak butuh kepada makhluk-Nya. Kita yang memerlukan Dia. Maka teruslah mengerjakan amal sholeh sebanyak-banyaknya tapi
jangan merasa diri paling sholeh,sebab amal belum cukup mengantarkan kita
ke surga tanpa rahmat dan kasih sayang dari Allah S.W.T
*Barakallah fiikum.* Astaghfirullahal azhiim….. Ampunilah kami ya ALLAH jika
di hati kami masih ada rasa bangga diri terhadap amal-amal kami. Aamiin Ya Rabbal aalamiin
di hati kami masih ada rasa bangga diri terhadap amal-amal kami. Aamiin Ya Rabbal aalamiin
[ Ar-Rafi’i dalam Wahyul Qalam, 2/153-160 ]