SATU perasaan adalah bahagia. Bergembira. Tapi di perasaan lain adalah duka dan khawatir juga. Kedua-duanya sama terasa. Di satu sisi hati, alhamdulillah sudah punya buku sendiri. Karya sendiri. Melalui pelatihan Sagu Sabu tajaan Media Guru Indonesia, setiap guru yang ikut akan mampu atau dilatih mampu untuk membuat buku. Buku ber-ISBN dan dicetak dengan disain sampul yang aduhai indahnya. Ini membuat gembira.
Kenyataan terakhir ini berarti belum mengubah peringkat membaca bangsa kita yang tetap masih rendah. Membaca dan ‘gila baca’ yang sejatinya diawali oleh para guru, sudah benar harus diawali dengan semangat menulis buku ala Sagu Sabu itu. Jika guru-guru, apalagi punya buku, mau dan rajin membaca, lalu mempengaruhi peserta didik untuk meningkatkan minat membaca, lalu mempengaruhi juga masyarakat untuk membaca maka peringkat bangsa Indonesia yang nyaris di nomor buncit bisa berubah atau naik sedikit demi sedikit.
Seperti sudah sering kita baca, misalnya mengacu studi yang dilakukan Most Littered Nation Connecticut State University (2016) bahwa Indonesia dinyatakan masih menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara yang disurvey, sungguh memalukan. Kita terlalu jauh berada di belakang peringkat membaca kita.
Maka semangat menulis buku yang kini sudah menjadi trand di kalangan guru dengan gigihnya grup Media Guru Indonesia mengajak bersama, kiranya dijadikan juga sebagai momen pemompa semangat membaca di Bangsa kita. Dan kita (guru) tidak ingin dicap sebagai yang tidak mendukung gerakan membaca yang merupakan bagian dari Gerakan Literasi Bangsa kita. Jika tetap tidak suka membaca, sementara menulis buku alhamdulillah sudah cukup bersemangat, itu maknanya kita ‘anti literasi’ juga. ***